Penyebab Jadwal Retensi Dokumen Jarang Dipatuhi

Jadwal Retensi Dokumen (JRD) adalah alat penting dalam pengelolaan arsip pemerintah. Melalui jadwal ini, setiap jenis arsip memiliki batas waktu penyimpanan sebelum akhirnya dipindahkan, diserahkan ke lembaga kearsipan, atau dimusnahkan. Secara teori, JRD dirancang untuk memastikan arsip terkelola dengan baik, tidak menumpuk, dan tetap relevan. Namun, di lapangan, banyak instansi pemerintah tidak mematuhi jadwal retensi sebagaimana mestinya. Dokumen yang seharusnya dimusnahkan tetap disimpan selama bertahun-tahun, arsip yang sudah habis retensinya tetap memenuhi lemari dan gudang, sementara arsip aktif justru kadang terselip di antara tumpukan lama.

Dalam artikel ini, kita membahas alasan mengapa jadwal retensi sering diabaikan serta dampak yang ditimbulkannya. Penjelasan disajikan dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami ASN dari berbagai latar belakang.

Kurangnya Pemahaman Tentang Pentingnya JRD

Alasan paling mendasar mengapa JRD jarang dipatuhi adalah kurangnya pemahaman pegawai tentang fungsi dan pentingnya jadwal retensi. Banyak ASN menganggap JRD hanya sebagai dokumen administratif tambahan yang jarang digunakan dalam pekerjaan sehari-hari. Padahal, jadwal retensi memiliki dampak besar pada efektivitas kearsipan, efisiensi ruang, hingga keamanan dokumen.

Banyak pegawai yang tidak memahami bahwa retensi dibuat berdasarkan analisis hukum, administrasi, keuangan, dan nilai historis. Tanpa retensi, arsip akan menumpuk dan menyulitkan pencarian. Ketidaktahuan ini membuat pegawai menganggap retensi sebagai aturan formal yang tidak perlu diterapkan secara disiplin.

Pemahaman yang minim juga menyebabkan pegawai bingung membedakan mana arsip aktif, inaktif, permanen, atau yang bisa dimusnahkan. Ketika tidak yakin, pilihan yang paling aman menurut mereka adalah menyimpannya saja, meskipun retensinya sudah sangat lama habis.

Takut Arsip Hilang atau Dibutuhkan Kembali

Banyak pegawai memilih tidak memusnahkan arsip karena takut dokumen tersebut akan dicari suatu hari nanti. Ketakutan ini sering kali muncul karena pengalaman buruk di masa lalu, seperti:

  • arsip hilang padahal masih dibutuhkan,
  • pencarian dokumen penting yang memakan waktu lama,
  • atau permintaan mendadak dari auditor atau atasan.

Akibatnya, pegawai lebih memilih menyimpan semua arsip tanpa memilah, karena dianggap lebih aman daripada risiko tidak bisa menemukan dokumen ketika diminta. Pemikiran seperti ini memperlihatkan kurangnya kepercayaan terhadap sistem kearsipan dan lemahnya proses pencatatan pemindahan arsip.

Ketakutan berlebihan membuat sebagian instansi selalu menyimpan dokumen jauh melewati masa retensinya. Gudang arsip pun penuh dengan dokumen yang sebenarnya sudah tidak memiliki nilai guna apa pun.

Tidak Ada Petugas Arsip Khusus

Kearsipan sering dijadikan tugas tambahan, bukan tugas utama. Banyak unit kerja yang tidak memiliki petugas arsip yang benar-benar memahami retensi. Akibatnya, proses penyusutan arsip tidak dilakukan secara rutin. Tidak ada yang secara khusus mengawasi, memverifikasi, atau mengajukan pemusnahan arsip sesuai jadwalnya.

Pegawai yang mendapat tugas ganda biasanya terlalu sibuk dengan pekerjaan utama sehingga tidak sempat memeriksa tabel retensi. Proses yang seharusnya dilakukan berkala akhirnya dikerjakan secara sporadis, bahkan sering tidak dilakukan sama sekali.

Tanpa petugas khusus, tidak ada yang memimpin proses penting seperti:

  • penilaian arsip,
  • verifikasi retensi,
  • penyusunan berita acara pemusnahan,
  • pengisian daftar pindah,
  • hingga koordinasi dengan lembaga kearsipan.

Ketiadaan personel ahli inilah yang menyebabkan JRD menjadi dokumen yang hanya disimpan, bukan dipraktikkan.

Beban Kerja yang Terlalu Banyak

Banyak pegawai sudah terbebani pekerjaan harian seperti administrasi, pelayanan publik, laporan kegiatan, serta pekerjaan teknis lainnya. Mengurus jadwal retensi dianggap pekerjaan tambahan yang tidak mendesak. Padahal, menyusutkan arsip membutuhkan waktu yang tidak sedikit: memilah, menilai, mengelompokkan, mencatat, lalu membuat berita acara.

Ketika pegawai tidak punya waktu khusus untuk mengurus retensi, maka penyusutan arsip tidak pernah terjadi. Akhirnya, setiap tahun arsip baru masuk, sementara arsip lama tidak pernah keluar. Kondisi ini lama-lama membuat ruang penyimpanan penuh hingga meja kerja pun dipenuhi dokumen yang tidak jelas statusnya.

Minimnya Infrastruktur Kearsipan

Masalah lain yang menyebabkan retensi tidak dipatuhi adalah keterbatasan sarana kearsipan, misalnya:

  • ruang penyimpanan yang tidak memadai,
  • rak arsip yang tidak cukup,
  • tidak adanya ruang pemusnahan yang aman,
  • atau minimnya fasilitas untuk penyimpanan arsip permanen.

Ketika tidak ada tempat untuk memindahkan arsip inaktif atau tidak ada mekanisme pemusnahan yang jelas, pegawai lebih memilih menyimpan semua dokumen di unit kerja masing-masing. Padahal, penyusutan arsip hanya efektif jika didukung ruang dan peralatan yang sesuai standar.

Ketidaktersediaan sarana membuat proses retensi tidak berjalan, meski pegawai sudah tahu apa yang harus dilakukan.

Tidak Ada Pengawasan dan Penegakan Aturan

Dalam banyak kasus, JRD diabaikan karena tidak ada pengawasan. Tidak ada unit yang secara aktif menegur atau memantau apakah retensi dijalankan sesuai ketentuan. Tanpa pengawasan, aturan apa pun akan diabaikan, termasuk jadwal retensi.

Pimpinan jarang menanyakan progres penyusutan arsip, dan tidak ada sanksi bagi unit yang tidak menjalankan retensi. Akibatnya, retensi dianggap tidak penting dan dikesampingkan dalam pekerjaan harian. Padahal, jika pengawasan rutin dilakukan, pegawai akan lebih disiplin mematuhi jadwal retensi dan proses penyusutan dapat berjalan konsisten.

Kurangnya Komitmen Pimpinan

Pimpinan memiliki peran besar dalam memastikan JRD dipatuhi. Namun, di beberapa instansi, kearsipan bukan prioritas utama. Fokus pimpinan sering lebih tertuju pada program-program besar, penyusunan anggaran, atau layanan publik, sementara kearsipan dianggap pekerjaan internal yang tidak berdampak langsung pada kinerja instansi.

Tanpa dukungan pimpinan, unit kearsipan tidak mendapat anggaran memadai, tidak ada pelatihan, dan tidak ada arahan untuk melakukan penyusutan arsip secara berkala. Padahal, tanpa komitmen dari level atas, sangat sulit bagi pegawai di bawah untuk menjalankan retensi dengan konsisten.

Masalah Budaya Kerja yang Terlalu Bergantung pada Arsip Fisik

Banyak instansi masih sangat bergantung pada dokumen fisik. Pegawai merasa lebih aman bila ada dokumen cetak sebagai bukti. Karena itu, meski retensi mengizinkan dokumen dimusnahkan, pegawai tetap menyimpannya “untuk berjaga-jaga.” Kebiasaan ini menjadi salah satu penyebab utama penumpukan arsip.

Migrasi ke sistem digital seharusnya dapat mengurangi ketergantungan pada kertas, namun proses digitalisasi yang lambat membuat pegawai mempertahankan kebiasaan lama. Tanpa perubahan budaya, jadwal retensi akan terus sulit dijalankan.

Kesimpulan

Jadwal Retensi Dokumen jarang dipatuhi bukan karena aturan tersebut salah, tetapi karena banyak faktor yang saling berkaitan: kurangnya pemahaman pegawai, ketakutan kehilangan arsip, tidak adanya petugas khusus, beban kerja yang tinggi, keterbatasan infrastruktur, lemahnya pengawasan, hingga minimnya komitmen pimpinan. Semua faktor ini membuat retensi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan menyebabkan penumpukan arsip di berbagai unit kerja.

Padahal, penerapan retensi sangat penting untuk menjaga kerapian dokumen, menghemat ruang, mempermudah pencarian arsip, dan meningkatkan akuntabilitas instansi. Agar retensi bisa dipatuhi, perlu kerja bersama: peningkatan kapasitas pegawai, pengadaan sarana yang memadai, dukungan aktif pimpinan, serta pengawasan yang berkelanjutan. Jika hal-hal ini diperkuat, jadwal retensi tidak lagi menjadi dokumen formalitas, tetapi benar-benar menjadi alat penting dalam pengelolaan arsip yang efektif dan profesional.

Loading