Kode klasifikasi arsip adalah fondasi utama dalam pengelolaan arsip yang rapi dan mudah ditemukan kembali. Di banyak instansi pemerintah, kode klasifikasi digunakan untuk mengelompokkan dokumen berdasarkan fungsi, kegiatan, dan subkegiatan organisasi. Sayangnya, masih banyak kesalahan yang terjadi dalam penyusunan kode ini, sehingga arsip menjadi sulit dicari, tumpang tindih, atau bahkan tersimpan di kategori yang salah. Artikel ini membahas berbagai kesalahan umum dalam pembuatan kode klasifikasi arsip, mengapa hal itu sering terjadi, dan bagaimana memperbaikinya agar sistem kearsipan menjadi lebih efektif.
Kurangnya Pemahaman terhadap Struktur Organisasi dan Fungsi
Kesalahan paling mendasar muncul ketika pegawai tidak memahami struktur organisasi atau fungsi unit kerja. Banyak kode klasifikasi dibuat berdasarkan persepsi pribadi, bukan berdasarkan fungsi sebenarnya dari dokumen. Misalnya, arsip terkait perencanaan disimpan dalam kode yang sama dengan arsip evaluasi karena dianggap berkaitan. Padahal dua kegiatan tersebut memiliki fungsi berbeda dalam siklus manajemen pemerintahan.
Ketika penyusunan kode klasifikasi tidak berbasis fungsi, arsip menjadi tidak konsisten dan bertumpuk di satu kategori besar yang tidak mudah ditelusuri. Pegawai pun kesulitan menentukan kode mana yang tepat setiap kali akan menyimpan dokumen.
Kode Dibuat Terlalu Umum atau Terlalu Spesifik
Kode klasifikasi yang terlalu umum membuat banyak dokumen masuk ke dalam kategori luas yang membingungkan. Misalnya, semua dokumen kegiatan dimasukkan ke dalam satu kode saja tanpa pemisahan berdasarkan kegiatan spesifik. Akibatnya, puluhan jenis dokumen bercampur di satu tempat.
Sebaliknya, kode yang terlalu rinci atau terlalu panjang juga menjadi masalah. Kode semacam ini sulit diingat dan sulit diterapkan oleh pegawai. Ketika kode terlalu rumit, pegawai akhirnya mencari jalan pintas dengan menempatkan arsip di kode terdekat atau yang mereka ingat, sehingga arsip tidak tersimpan pada kategori yang benar.
Kesalahan ini menunjukkan bahwa keseimbangan sangat penting: kode harus cukup jelas untuk membedakan dokumen, tetapi tidak terlalu rumit untuk digunakan.
Tidak Mengikuti Daftar Klasifikasi Arsip (DKA) yang Resmi
Instansi pemerintah biasanya memiliki Daftar Klasifikasi Arsip (DKA) yang telah ditetapkan dalam regulasi atau Peraturan Kepala Arsip Nasional. Namun dalam praktik di lapangan, banyak pegawai yang tidak merujuk ke DKA saat membuat kode. Mereka hanya menggunakan kode lama yang diwariskan dari pegawai sebelumnya atau memodifikasi kode berdasarkan kebiasaan masing-masing.
Ketika DKA tidak digunakan, secara otomatis arsip tidak sesuai dengan standar pengelolaan arsip pemerintah. Hal ini menyulitkan sinkronisasi data antar-unit, membuat retensi tidak tepat, dan menyulitkan penyerahan arsip ke lembaga kearsipan.
Tidak Konsisten Menggunakan Kode di Seluruh Unit Kerja
Kesalahan lain adalah tidak adanya konsistensi antar-unit kerja. Setiap bidang atau seksi membuat kode sendiri tanpa koordinasi dengan unit lain. Misalnya, kode “03” digunakan untuk perencanaan di satu unit, tetapi digunakan untuk keuangan di unit lain. Ketidakkonsistenan ini menyebabkan kebingungan ketika arsip perlu dikelola secara terpusat atau ketika unit digabung.
Ketidakkonsistenan ini biasanya terjadi karena tidak ada standar yang disosialisasikan atau tidak ada petugas khusus yang bertanggung jawab memastikan penggunaan kode dilakukan dengan benar.
Menggabungkan Beberapa Fungsi ke dalam Satu Kode
Banyak instansi melakukan kesalahan dengan mencampur dokumen dari fungsi berbeda dalam satu kode klasifikasi. Misalnya, kode arsip untuk kegiatan rapat sering digunakan untuk menyimpan notulen, undangan, daftar hadir, konsep materi, hingga laporan kegiatan. Padahal setiap jenis dokumen bisa memiliki fungsi berbeda, retensi berbeda, dan prioritas penyimpanan berbeda.
Menggabungkan fungsi yang berbeda mempersulit proses temu kembali dan berpotensi menimbulkan kesalahan dalam penilaian retensi. Dokumen yang seharusnya disimpan 5 tahun bercampur dengan dokumen yang seharusnya disimpan 2 tahun, sehingga penentuan retensi menjadi tidak jelas.
Tidak Mengupdate Kode Klasifikasi Saat Ada Perubahan Struktur Organisasi
Ketika terjadi perubahan struktur organisasi, unit kerja baru dibentuk, atau tupoksi berubah, kode klasifikasi seharusnya ikut diperbarui. Namun banyak instansi lupa atau tidak melakukan langkah ini. Akibatnya, dokumen baru disimpan dengan kode usang yang tidak lagi relevan.
Contoh kasus yang sering terjadi adalah pemecahan unit kerja—kode lama tetap digunakan meskipun fungsinya sudah berubah. Hal ini membuat arsip baru dan lama tercampur, menyulitkan proses penilaian dan penyusutan arsip di masa depan.
Tidak Ada Pengendalian dan Pengawasan dalam Penggunaan Kode
Penyusunan kode klasifikasi tidak akan efektif tanpa pengendalian. Banyak instansi tidak memiliki petugas arsip yang ditugaskan secara khusus untuk mengawasi penggunaan kode. Akibatnya, pegawai menyimpan dokumen sesuai persepsi masing-masing. Tidak ada verifikasi, tidak ada pembetulan, dan tidak ada audit berkala terhadap penggunaan kode yang salah.
Kurangnya pengawasan ini memperburuk duplikasi dokumen, salah penempatan arsip, dan ketidakteraturan dalam penyimpanan.
Tidak Menjelaskan Kode hingga Tingkat Subjek Dokumen
Kode klasifikasi yang baik tidak hanya memuat fungsi dan kegiatan, tetapi juga subjek dokumen. Banyak instansi membuat kode hanya sampai pada tingkat kegiatan, tanpa menjelaskan subjek seperti laporan, surat, proposal, atau dokumen pendukung lainnya.
Ketika subjek tidak dijelaskan, pegawai bingung dan akhirnya membuat kode sendiri yang tidak sesuai struktur. Hal ini menimbulkan banyak variasi kode yang tidak terstandar.
Penamaan Folder Tidak Sesuai dengan Kode Klasifikasi
Walaupun kode sudah benar, sering kali penamaan folder di komputer atau server tidak mengikuti kode tersebut. Pegawai membuat folder baru berdasarkan tahun atau nama dokumen tanpa mencantumkan kode klasifikasi. Akibatnya, ketika folder semakin banyak, hubungan antara folder dan kode klasifikasi hilang, dan arsip menjadi sulit ditelusuri.
Jika penamaan folder tidak sesuai kode, pegawai lain akan kesulitan menemukan dokumen meskipun sebenarnya kode sudah ditentukan dengan benar.
Solusi untuk Memperbaiki Kesalahan Kode Klasifikasi Arsip
Untuk mengatasi berbagai kesalahan tersebut, beberapa langkah penting dapat dilakukan:
- Menyusun dan mensosialisasikan Daftar Klasifikasi Arsip resmi.
- Memberikan pelatihan kepada pegawai tentang cara menggunakan kode dengan benar.
- Membuat SOP klasifikasi arsip yang harus dipatuhi seluruh unit kerja.
- Mengangkat petugas arsip khusus untuk mengawasi konsistensi penggunaan kode.
- Melakukan audit arsip secara berkala untuk memastikan tidak ada kesalahan klasifikasi.
- Menyesuaikan kode setiap kali organisasi mengalami perubahan struktur.
Dengan langkah-langkah tersebut, instansi dapat memiliki sistem arsip yang rapi, teratur, dan mudah ditelusuri.
Kode Klasifikasi yang Tepat Adalah Pondasi Kearsipan yang Baik
Kesalahan dalam membuat kode klasifikasi arsip dapat menyebabkan kekacauan dalam penyimpanan, pencarian, hingga penilaian retensi. Namun masalah ini dapat diperbaiki dengan pemahaman yang tepat, kebijakan yang jelas, dan pengawasan yang konsisten. Dengan kode yang benar, arsip lebih mudah ditemukan, lebih cepat dikelola, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, pengelolaan arsip yang baik bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kedisiplinan dan ketepatan dalam mengelompokkan dokumen sejak awal.
![]()
