Bagaimana Menangani Dua atau Lebih Penawaran Sama Nilainya?

1. Pendahuluan

Dalam proses pengadaan barang atau jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, ataupun perusahaan swasta besar, kerap dijumpai situasi di mana dua atau lebih penawaran peserta tender memiliki nilai atau skor evaluasi yang sama persis. Kondisi ini menimbulkan kebingungan dan memerlukan mekanisme khusus untuk menentukan pemenang tanpa melanggar prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Artikel ini membahas secara mendalam berbagai aspek-mulai dari landasan hukum, alasan di balik kemunculan penawaran sama, prinsip-prinsip penyelesaiannya, hingga metode praktis dan studi kasus implementasi-sehingga pembaca yang terlibat dalam manajemen pengadaan dapat memahami dan menerapkan solusi yang tepat.

2. Landasan Hukum dan Regulasi Tender

Pada dasarnya, semua proses pengadaan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (dan perubahannya Perpres No. 12/2021), serta peraturan pelaksanaannya yang lebih teknis, seperti Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

  • Pasal 87 ayat (1) huruf e Perpres 16/2018 menyebutkan bahwa apabila terdapat dua atau lebih penawaran dengan harga terendah yang sama, maka penyedia barang/jasa dapat ditetapkan pemenang melalui cara yang diatur dalam dokumen pemilihan, salah satunya adalah undian.
  • Pasal 83 ayat (6) Perpres 12/2021 menegaskan bahwa mekanisme tie-breaker (pemecahan imbang) seperti pengundian atau kualifikasi teknis tambahan harus dicantumkan dalam Dokumen Pemilihan dan diumumkan sejak awal agar semua peserta memahami aturan main.

Di sektor swasta, meski tidak diikat Perpres, perusahaan sering kali merujuk pada International Federation of Consulting Engineers (FIDIC) atau pedoman World Bank Procurement Guidelines yang juga merekomendasikan prosedur tie-breaker. Memahami landasan hukum ini penting agar mekanisme penentuan pemenang tidak menjadi celah sengketa hukum, serta memenuhi standar Good Governance dalam pengadaan.

3. Mengapa Penawaran Bisa Sama Nilainya?

Munculnya penawaran dengan nilai evaluasi atau harga akhir yang identik bukanlah fenomena yang langka dalam praktik pengadaan barang dan jasa, terutama dalam sistem tender terbuka yang kompetitif. Beberapa penyebab utama yang dapat menjelaskan mengapa dua atau lebih peserta tender dapat mengajukan penawaran dengan nilai yang sama antara lain sebagai berikut:

3.1. Standarisasi Harga Industri

Pada sektor-sektor tertentu, terutama yang berkaitan dengan komoditas atau produk yang sudah sangat umum diperdagangkan seperti semen, bahan bakar, kertas, atau alat tulis kantor, terjadi standarisasi harga di tingkat industri. Hal ini menyebabkan margin keuntungan antar penyedia menjadi sangat tipis, dan variasi harga menjadi hampir tidak ada. Karena seluruh penyedia menggunakan acuan harga pasar yang sama, maka hasil akhirnya adalah penawaran dengan nilai yang identik. Faktor ini diperkuat dengan keterbukaan informasi dan ketersediaan harga satuan yang telah dipublikasikan oleh pemerintah atau asosiasi industri.

3.2. Dokumen Tender yang Sangat Rinci dan Ketat

Ketika dokumen pemilihan disusun dengan sangat rinci, termasuk spesifikasi teknis, kuantitas, dan metode pembayaran yang presisi, maka ruang improvisasi oleh penyedia menjadi sangat terbatas. Penawaran menjadi seragam karena hampir tidak ada ruang kreativitas dalam menyusun harga. Ditambah lagi, jika ruang markup atau keuntungan sangat kecil, maka sebagian besar penyedia cenderung bermain aman dan memberikan penawaran yang “sesuai pasar”, sehingga hasil akhirnya bisa sangat mirip, bahkan identik.

3.3. Strategi Kompetitif: Follow-the-Market

Dalam pasar yang sangat kompetitif, penyedia cenderung mengadopsi strategi “follow-the-market”, yaitu menyusun harga berdasarkan prediksi terhadap harga yang diajukan pesaing. Strategi ini dilakukan dengan riset terhadap proyek-proyek serupa, menganalisis kompetitor, dan memperkirakan nilai penawaran yang “paling masuk akal”. Akibatnya, beberapa penyedia bisa saja menyusun angka yang sama berdasarkan perkiraan kolektif terhadap batas bawah yang masih ekonomis.

3.4. Metodologi Evaluasi Diskrit

Sistem evaluasi yang menggunakan skor diskrit (misalnya rentang 1-100 dengan pembulatan satuan atau desimal terbatas) membuka kemungkinan dua penyedia mendapat skor teknis dan harga yang sama setelah dikonversi. Misalnya, jika skor teknis 85 dan harga 95 dikombinasikan dalam bobot 60:40, maka dua penyedia yang berbeda bisa mendapat nilai total 88,0. Dalam sistem ini, perbedaan tipis bisa hilang dalam proses normalisasi, terutama jika penilaian dilakukan secara sistematis melalui sistem aplikasi yang memotong angka desimal.

3.5. Ketidakpastian Biaya Proyek

Dalam proyek-proyek konstruksi atau jasa konsultansi, penyedia sering menyusun penawaran berdasarkan estimasi biaya yang diberikan oleh pemberi kerja atau hasil survei internal. Karena risiko proyek sudah diperhitungkan dengan pendekatan yang sama (misalnya SNI, standar unit cost, atau metode kerja tertentu), markup yang diberikan cenderung identik. Hal ini umum terjadi ketika proyek dibiayai dari dana yang sudah pasti (misalnya DAK fisik), sehingga semua penyedia menyesuaikan nilai penawaran agar tetap berada di dalam batas kewajaran namun tetap kompetitif. Dengan memahami akar penyebab ini, tim pengadaan dapat mengantisipasi kemungkinan munculnya penawaran dengan nilai yang sama sejak tahap perencanaan dan penyusunan dokumen pemilihan. Ini akan membantu dalam merancang metode tie-breaker yang adil dan proporsional terhadap karakteristik sektor dan nilai kontrak.

4. Prinsip-Prinsip Umum Penanganan Penawaran Seimbang

Sebelum memilih dan menerapkan metode tie-breaker atau penyelesaian penawaran yang seimbang (imbang nilai), penting bagi tim pengadaan untuk memahami dan berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi dari proses pengadaan yang baik. Prinsip-prinsip ini bukan hanya norma prosedural, tetapi juga representasi dari tata kelola yang baik (good governance) dalam proses pengambilan keputusan:

4.1. Transparansi

Seluruh peserta pengadaan harus mengetahui dengan jelas bagaimana penawaran mereka akan dievaluasi, termasuk jika terjadi situasi skor yang sama. Oleh karena itu, metode penyelesaian harus diumumkan secara eksplisit dalam Dokumen Pemilihan sejak awal. Dengan cara ini, tidak akan timbul kesan bahwa metode penentuan pemenang ditentukan belakangan secara sepihak. Transparansi menjadi elemen penting untuk membangun kepercayaan peserta dan menjaga integritas proses.

4.2. Keadilan

Setiap peserta tender berhak mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Metode yang dipilih untuk menentukan pemenang ketika terjadi penawaran yang sama harus bersifat objektif dan tidak memberikan keuntungan sepihak kepada salah satu penyedia. Prinsip ini menjadi kunci dalam menjamin hasil akhir yang diterima oleh semua pihak sebagai hasil yang sah dan adil.

4.3. Akuntabilitas

Seluruh proses penyelesaian-mulai dari perhitungan, klarifikasi, hingga keputusan akhir-harus terdokumentasi dengan baik. Hal ini mencakup berita acara evaluasi ulang, hasil pengundian (jika ada), notulen pertemuan klarifikasi, dan bukti lain yang dapat digunakan saat proses audit, baik internal maupun oleh lembaga pemeriksa seperti BPK atau Inspektorat. Dokumentasi lengkap juga menjadi pegangan jika terjadi keberatan atau sengketa.

4.4. Efisiensi dan Kecepatan

Proses penanganan imbang nilai harus diselesaikan dalam jangka waktu yang memadai agar tidak mengganggu jadwal pelaksanaan proyek secara keseluruhan. Penundaan dalam menentukan pemenang bisa berimplikasi pada keterlambatan pelaksanaan kontrak, pembengkakan biaya, atau bahkan pembatalan kegiatan.

4.5. Kesepadanan dengan Skala Tender

Metode penyelesaian harus sesuai dengan nilai dan kompleksitas pengadaan. Pada pengadaan dengan nilai kecil, metode seperti pengundian dapat diterima dan dipandang efisien. Namun untuk proyek bernilai besar, perlu metode yang lebih teknis dan berbasis data kualitatif agar tidak dipandang remeh atau tidak profesional.

4.6. Mempertahankan Kualitas

Walau harga penting, kualitas tetap harus menjadi pertimbangan utama, terutama dalam proyek yang berdampak besar pada pelayanan publik atau melibatkan teknologi tinggi. Oleh karena itu, tie-breaker sebaiknya tetap mempertimbangkan aspek teknis tambahan yang dapat membedakan kompetensi penyedia. Dengan berlandaskan prinsip-prinsip tersebut, proses tie-breaker tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga memenuhi nilai etis dan profesionalisme yang diharapkan dalam pengadaan modern.

5. Metode dan Mekanisme Penyelesaian

Setelah prinsip-prinsip dasar dipahami dan diputuskan, tim pengadaan dapat memilih berbagai metode penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi proyek, nilai kontrak, karakteristik sektor, serta urgensi waktu pelaksanaan. Di bawah ini adalah beberapa metode populer yang digunakan di berbagai lembaga:

5.1. Klarifikasi dan Negosiasi Ulang

Klarifikasi teknis atau negosiasi ulang harga dapat menjadi metode elegan untuk membedakan penyedia yang memiliki skor evaluasi akhir yang sama. Tim pengadaan dapat mengundang dua atau lebih peserta untuk menjelaskan lebih detail aspek teknis penawaran mereka, atau memberikan kesempatan untuk menyempurnakan harga dengan tetap menjaga ruang kompetisi yang sehat. Langkah-langkah:

  • Kirim undangan klarifikasi kepada penyedia dengan skor sama.
  • Tetapkan waktu singkat (misal 2 hari kerja) untuk penyampaian dokumen klarifikasi.
  • Evaluasi kembali berdasarkan perbedaan nilai tambah atau harga koreksi.

Kelebihan:

  • Memberi ruang kompetisi tambahan.
  • Mendorong penyedia menunjukkan keunggulan non-harga.

Kekurangan:

  • Dapat memperpanjang proses.
  • Perlu pengawasan agar tidak muncul kesan keberpihakan.

5.2. Undian atau Lotere

Undian resmi dilakukan jika tidak ada cara lain untuk membedakan penyedia, atau jika ketentuan dokumen menyebut metode ini sebagai pilihan terakhir. Langkah-langkah:

  • Tentukan metode undian (kertas gulung, angka acak, aplikasi).
  • Hadirkan notaris, saksi, dan peserta untuk menyaksikan.
  • Dokumentasikan hasil dengan berita acara.

Kelebihan:

  • Cepat, efisien, tidak memerlukan evaluasi tambahan.

Kekurangan:

  • Terlihat kurang mempertimbangkan aspek kompetensi.
  • Tidak cocok untuk proyek bernilai besar.

5.3. Bobot Kualifikasi Teknis Tambahan

Evaluasi kualifikasi teknis lanjutan dilakukan untuk menggali perbedaan yang belum tergali dari evaluasi awal, seperti:

  • Jumlah tenaga ahli bersertifikat.
  • Proyek sejenis dalam 10 tahun terakhir.
  • Inovasi dalam manajemen proyek.

Langkah-langkah:

  • Tentukan variabel baru secara objektif.
  • Evaluasi dokumen yang sudah diserahkan.
  • Tambahkan bobot penilaian (misal 5%).

Kelebihan:

  • Menjaga fokus kualitas.
  • Membedakan penyedia berdasarkan kompetensi nyata.

Kekurangan:

  • Perlu data kuat dan sistem evaluasi tambahan.
  • Dapat menimbulkan perdebatan jika tidak transparan.

5.4. Harga atau Syarat Non-Harga

Menilai aspek non-harga yang sebelumnya tidak dipertimbangkan, seperti:

  • Masa garansi yang lebih panjang.
  • Jadwal pelaksanaan lebih cepat.
  • Pelayanan purna jual.

Langkah-langkah:

  • Tentukan variabel non-harga yang relevan.
  • Evaluasi dari dokumen penawaran atau klarifikasi.
  • Tetapkan skor tambahan sebagai pembeda.

Kelebihan:

  • Memperluas dimensi kompetisi.
  • Menguntungkan pengguna akhir.

Kekurangan:

  • Sulit jika tidak ada standar objektif.
  • Diperlukan aturan main sejak awal.

5.5. Skor Kinerja dan Reputasi Penyedia

Mekanisme ini menggunakan data historis kinerja penyedia, baik dari kontrak sebelumnya maupun catatan evaluasi lapangan. Langkah-langkah:

  • Gunakan sistem penilaian e-performance.
  • Tinjau evaluasi realisasi kontrak masa lalu.
  • Tambahkan sebagai bobot diferensiasi.

Kelebihan:

  • Memberikan insentif bagi penyedia yang berkinerja baik.

Kekurangan:

  • Data harus valid dan terstandarisasi.

5.6. Penilaian Inovasi atau Nilai Tambah

Penilaian terhadap solusi inovatif bisa mencakup:

  • Teknologi ramah lingkungan.
  • Desain modular.
  • Efisiensi energi.
  • Sistem monitoring digital.

Langkah-langkah:

  • Tentukan indikator inovasi.
  • Evaluasi dari proposal atau demonstrasi.
  • Tambahkan skor sesuai bobot yang disepakati.

Kelebihan:

  • Mendorong kreativitas dan kemajuan teknologi.

Kekurangan:

  • Subjektivitas tinggi jika indikator tidak jelas.

Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari setiap metode, tim pengadaan dapat memilih mekanisme penyelesaian yang paling sesuai dengan karakteristik proyek dan tetap menjaga prinsip transparansi dan akuntabilitas.

6. Proses Administratif dan Prosedural

Setelah metode penanganan penawaran bernilai sama (tie-breaker) ditentukan, langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah memastikan seluruh proses berjalan secara administratif dan prosedural sesuai aturan pengadaan barang/jasa. Ini bukan hanya soal formalitas, tetapi juga bagian dari prinsip akuntabilitas dan transparansi yang menjadi fondasi sistem pengadaan pemerintah. Jika setiap proses tercatat dengan baik, maka potensi sengketa di kemudian hari dapat diminimalkan, dan legitimasi keputusan panitia pengadaan dapat dipertahankan bahkan saat dilakukan audit atau gugatan hukum.

6.1. Notifikasi kepada Peserta

Langkah pertama adalah memberikan pemberitahuan resmi kepada peserta yang terlibat dalam proses tie-breaker. Pemberitahuan ini dapat dilakukan melalui surat tertulis, email resmi, atau melalui sistem e-procurement (LPSE). Isi notifikasi harus mencakup informasi detail, seperti:

  • Penjelasan bahwa terdapat kondisi dua atau lebih penawaran dengan nilai yang identik.
  • Metode penyelesaian (klarifikasi, negosiasi ulang, penilaian ulang, undian, atau lainnya).
  • Waktu dan tempat pelaksanaan proses tie-breaker.
  • Referensi klausul dokumen pemilihan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan.

Langkah ini menunjukkan bahwa proses berjalan terbuka dan semua peserta diperlakukan setara.

6.2. Dokumen Addendum dan Berita Acara

Apabila metode tie-breaker belum disebutkan secara eksplisit dalam dokumen pemilihan, maka panitia wajib membuat addendum yang menjelaskan dasar hukum dan teknis pelaksanaannya. Addendum harus diterbitkan secara resmi, dan menjadi bagian integral dari dokumen pemilihan. Selain itu, berita acara wajib dibuat pada setiap tahapan penting: mulai dari klarifikasi, proses pengundian, hingga finalisasi keputusan. Berita acara ini ditandatangani oleh anggota tim pengadaan dan saksi independen, serta dilampirkan dalam laporan hasil pemilihan. Dokumen ini krusial sebagai bukti sah dalam proses evaluasi internal maupun pemeriksaan eksternal.

6.3. Tata Cara Pengundian Resmi

Jika metode yang dipilih adalah undian, maka prosedur teknisnya harus dibuat setransparan mungkin:

  • Tentukan media undian: bisa berupa kertas yang dimasukkan ke dalam kotak, atau menggunakan software pengacak acak yang disaksikan langsung.
  • Libatkan pihak independen sebagai saksi, seperti perwakilan OPD lain, notaris, LSM pemantau pengadaan, atau tokoh masyarakat yang netral.
  • Proses dilakukan secara terbuka dan disiarkan live atau direkam video agar dapat diputar ulang jika terjadi keberatan.

Dokumentasi ini penting untuk menjaga kredibilitas hasil akhir dan mencegah tuduhan manipulasi.

6.4. Penetapan Pemenang dan Surat Penunjukan

Setelah tie-breaker selesai dan pemenang dapat ditentukan secara sah, panitia harus segera menetapkan pemenang dalam Berita Acara Penetapan dan menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Dokumen ini menjadi dasar penyusunan dan penandatanganan kontrak kerja sama. Semua tahapan ini harus sesuai peraturan LKPP agar tidak menimbulkan celah hukum.

7. Studi Kasus dan Contoh Implementasi

Untuk memberikan gambaran nyata mengenai dinamika penanganan penawaran sama nilainya, berikut dua studi kasus yang mencerminkan variasi pendekatan tergantung pada jenis proyek dan tingkat kompleksitasnya.

Kota X – Proyek Pembangunan Jembatan Ringan

Dalam sebuah proyek pembangunan jembatan ringan senilai Rp9,5 miliar di Kota X, dua peserta pengadaan mengajukan penawaran harga yang identik hingga ke digit terakhir. Tak hanya itu, skor teknis yang diperoleh keduanya pun sama persis, yakni 88 poin. Situasi ini membuat panitia tidak dapat menentukan pemenang berdasarkan metode evaluasi biasa. Tim pengadaan akhirnya memilih untuk menggunakan metode evaluasi teknis tambahan, dengan mempertimbangkan jumlah tenaga ahli bersertifikat dan pengalaman proyek sejenis dalam lima tahun terakhir. Setelah diminta mengajukan dokumen tambahan, salah satu peserta terbukti memiliki lebih banyak tenaga ahli bersertifikat LPJK. Keputusan ini diterima semua pihak karena berbasis data objektif dan memperhatikan aspek kualitas jangka panjang.

Kementerian Y – Pengadaan Laptop

Berbeda dengan kasus sebelumnya, Kementerian Y melaksanakan pengadaan laptop untuk program digitalisasi sekolah. Tiga vendor mengajukan harga identik: Rp10 juta per unit, dan nilai evaluasi teknis sama (misalnya: 90/100). Karena kriteria tambahan sudah habis digunakan, panitia memilih metode undian resmi sebagai jalan keluar. Undian dilakukan di ruang pertemuan terbuka, disaksikan oleh notaris, wakil kementerian lain, serta perwakilan semua vendor. Proses direkam dan dilaporkan melalui berita acara. Pemenang ditentukan secara adil tanpa adanya protes dari peserta. Kedua studi kasus ini menunjukkan bahwa metode tie-breaker harus disesuaikan dengan nilai proyek, jenis barang/jasa, serta ekspektasi publik terhadap keadilan dan transparansi proses.

8. Risiko dan Tantangan

Walaupun metode tie-breaker disusun secara sistematis dan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan yang baik, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya tidak selalu berjalan mulus. Terdapat berbagai tantangan-baik dari aspek hukum, persepsi publik, maupun pelaksanaan teknis-yang perlu dipetakan dan ditangani secara proaktif agar hasil akhir pengadaan tetap berkualitas dan bebas dari sengketa.

8.1. Risiko Hukum dan Sengketa

Risiko paling krusial adalah potensi sengketa hukum akibat ketidaksesuaian antara metode tie-breaker yang diterapkan dengan dokumen pemilihan atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketika proses tie-breaker dilakukan secara mendadak tanpa dasar hukum yang kuat-misalnya, tidak tercantum dalam Rencana Pemilihan atau Dokumen Pemilihan awal-peserta tender yang merasa dirugikan bisa mengajukan keberatan formal kepada Pokja Pemilihan, menempuh jalur sanggahan di LPSE, hingga menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Risiko hukum juga bisa muncul jika dokumentasi pelaksanaan tie-breaker tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri, misalnya: tidak ada berita acara klarifikasi, tidak ada rekaman proses undian, atau tidak dicantumkan nama saksi independen. Kondisi ini membuat keputusan panitia rentan dibatalkan secara hukum. Oleh sebab itu, prinsip kehati-hatian, dokumentasi lengkap, dan dasar hukum yang eksplisit menjadi pondasi wajib dalam setiap tie-breaker.

8.2. Perdebatan Etis dan Persepsi Keadilan

Tie-breaker yang menggunakan undian, walaupun sah secara aturan pengadaan (misalnya disebutkan dalam Perlem LKPP), tetap menghadapi tantangan dari sisi persepsi keadilan dan profesionalisme, terutama dalam proyek dengan nilai besar atau berimplikasi strategis.

Banyak pemangku kepentingan merasa bahwa pemilihan pemenang proyek bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah seharusnya tidak ditentukan oleh faktor keberuntungan semata. Hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa kualitas dan rekam jejak tidak lagi menjadi prioritas, melainkan diabaikan demi efisiensi prosedural. Dalam beberapa kasus, ini memicu ketidakpercayaan publik, terutama jika penyedia yang menang memiliki rekam jejak buruk.

Oleh karena itu, panitia pengadaan perlu mempertimbangkan dengan cermat dampak etis dari metode tie-breaker yang dipilih. Di proyek besar, pendekatan berbasis evaluasi teknis tambahan, inovasi, atau skor kinerja masa lalu dinilai lebih pantas dan memperkuat legitimasi keputusan.

8.3. Risiko terhadap Kualitas dan Pelaksanaan

Mengutamakan penawaran harga terendah atau melakukan undian tanpa menilai faktor kualitas sering kali berujung pada konsekuensi serius dalam tahap pelaksanaan proyek. Kontraktor atau penyedia yang hanya unggul di harga, tanpa memiliki kapasitas teknis dan manajerial yang cukup, berisiko:

  • Tidak mampu memenuhi spesifikasi teknis sesuai kontrak.
  • Mengalami keterlambatan pengiriman barang atau pelaksanaan konstruksi.
  • Melakukan sub-kontrak berlebihan kepada pihak ketiga dengan kualitas lebih rendah.
  • Memicu permintaan adendum harga atau waktu di tengah kontrak.

Situasi semacam ini menunjukkan bahwa tie-breaker yang terlalu menyederhanakan proses dapat mengorbankan kualitas proyek. Karena itu, dalam pengadaan jasa konsultansi, teknologi tinggi, atau proyek infrastruktur, mekanisme penilaian tambahan berbasis reputasi dan kinerja sangat disarankan agar hasil akhir tetap optimal.

9. Rekomendasi dan Best Practices

Agar permasalahan penawaran identik dapat diantisipasi dan ditangani secara sistematis, maka diperlukan serangkaian rekomendasi dan praktik terbaik (best practices) yang bisa diadopsi oleh tim pengadaan di semua tingkatan-baik pusat maupun daerah. Rekomendasi ini mencakup aspek kebijakan, sistem informasi, hingga pengembangan sumber daya manusia.

9.1. Cantumkan Metode Tie-Breaker Sejak Awal

Langkah paling fundamental adalah mencantumkan metode tie-breaker secara eksplisit dalam Dokumen Pemilihan sejak tahap awal. Idealnya, ketentuan ini sudah dirancang dalam Rencana Pemilihan dan dituangkan di Bab III (Instruksi Kepada Peserta) atau Bab V (Kriteria Evaluasi) pada dokumen pengadaan.

Dengan demikian, semua peserta mengetahui dengan jelas bahwa jika terjadi nilai akhir yang sama, maka akan digunakan mekanisme tertentu seperti klarifikasi harga, evaluasi tambahan, atau undian. Transparansi ini menghindarkan tuduhan rekayasa prosedur atau manipulasi hasil tender, serta menjamin kepatuhan terhadap prinsip good governance.

9.2. Bangun Database Kinerja Penyedia

Salah satu kelemahan umum dalam sistem pengadaan di banyak daerah adalah absennya basis data terstruktur tentang rekam jejak penyedia. Padahal, informasi ini sangat penting ketika tim pengadaan ingin menggunakan metode tie-breaker berbasis kinerja atau reputasi.

Database ini sebaiknya mencakup indikator seperti:

  • Kepatuhan waktu pelaksanaan kontrak sebelumnya.
  • Tingkat pengembalian uang muka dan penyelesaian pekerjaan.
  • Hasil audit mutu barang/jasa.
  • Riwayat sengketa dan adendum kontrak.
  • Kepuasan pengguna akhir (melalui survei).

Sistem seperti ini tidak hanya berguna dalam tie-breaker, tetapi juga dalam proses evaluasi kualifikasi, blacklist penyedia, dan pembinaan vendor jangka panjang.

9.3. Sertakan Klausul Insentif Inovasi

Kualitas pengadaan tidak melulu soal harga atau waktu pengiriman. Banyak instansi kini menyadari pentingnya mendorong inovasi dari pihak penyedia, seperti:

  • Penggunaan teknologi ramah lingkungan.
  • Sistem digitalisasi layanan.
  • Efisiensi energi dan material.
  • Peningkatan keamanan kerja atau ergonomi.

Untuk itu, dokumen pengadaan dapat menyisipkan klausul opsional “nilai tambah/inovasi” dengan bobot kecil (misalnya 5-10%). Walau kecil, poin ini bisa menjadi faktor pembeda yang signifikan dalam situasi tie-breaker.

9.4. Latih Tim Pengadaan Secara Rutin

Kemampuan teknis tim pengadaan berperan besar dalam memastikan tie-breaker dilaksanakan secara profesional dan taat regulasi. Oleh karena itu, pelatihan rutin dan sertifikasi harus diadakan, khususnya dalam hal:

  • Menyusun dokumen pemilihan yang eksplisit dan lengkap.
  • Teknik klarifikasi harga dan negosiasi ulang.
  • Menilai proposal teknis tambahan secara objektif.
  • Manajemen risiko dalam kontrak pengadaan.
  • Audit pengadaan dan dokumentasi proses.

Pelatihan ini dapat difasilitasi oleh LKPP, BPKP, atau akademi pengadaan yang sudah memiliki modul pelatihan bersertifikasi.

9.5. Gunakan Sistem e-Tender yang Terintegrasi

Sistem LPSE dan e-Procurement yang digunakan saat ini perlu terus ditingkatkan agar dapat:

  • Mengidentifikasi penawaran yang identik secara otomatis.
  • Menyediakan fitur pengundian digital yang terdokumentasi.
  • Menampilkan skor kinerja penyedia secara real-time.
  • Mempermudah dokumentasi klarifikasi dan penilaian ulang.

Sistem yang terintegrasi ini akan mempercepat proses evaluasi, menghindari konflik data, serta meningkatkan efisiensi birokrasi. Pengadaan elektronik bukan sekadar alat administrasi, tetapi juga alat pengambilan keputusan berbasis data.

10. Kesimpulan

Fenomena dua atau lebih penawaran yang memiliki nilai akhir identik bukanlah kejadian langka, terutama dalam era digitalisasi pengadaan di mana akses informasi semakin terbuka dan kompetisi semakin ketat. Menghadapi kondisi seperti ini, tim pengadaan harus bersikap profesional, transparan, dan adil dalam memilih mekanisme penyelesaiannya. Tie-breaker tidak bisa dianggap sebagai hal sepele, sebab keputusan akhir akan berdampak pada kualitas proyek, keberlangsungan kontrak, dan citra instansi sebagai pengguna anggaran.

Oleh karena itu, penting untuk merancang metode tie-breaker yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga diterima secara etis oleh publik dan para penyedia. Kunci utama keberhasilan dalam situasi ini adalah dokumentasi lengkap, komunikasi terbuka, serta penerapan prinsip good governance secara konsisten. Ketika proses tie-breaker dikelola dengan benar, maka instansi tidak hanya berhasil menyelesaikan kebuntuan teknis, tetapi juga memperkuat integritas sistem pengadaan nasional secara menyeluruh.

Loading