Budaya birokrasi yang berkembang di Indonesia kerap kali diliputi oleh pola perilaku yang dikenal dengan istilah “asal bapak senang”. Istilah ini merujuk pada sikap di mana pegawai atau aparat birokrasi lebih mengutamakan kepuasan atasan, tanpa memperhatikan prosedur yang benar atau kepentingan publik. Budaya ini sangat erat kaitannya dengan ketidakberesan dalam sistem administrasi pemerintahan dan dapat menyebabkan berbagai masalah serius di sektor publik. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada tingkat pegawai rendahan, tetapi juga di tingkat pimpinan yang sering kali lebih fokus pada loyalitas politik daripada prinsip-prinsip administrasi yang profesional.
Pada artikel ini, kita akan mengulas lebih mendalam mengenai dampak negatif budaya “asal bapak senang” di birokrasi, serta bagaimana budaya ini merusak efisiensi, akuntabilitas, dan integritas dalam sistem pemerintahan. Selain itu, artikel ini juga akan mengeksplorasi langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi budaya tersebut.
1. Budaya ‘Asal Bapak Senang’
Budaya “asal bapak senang” adalah istilah yang menggambarkan keadaan di mana pegawai birokrasi atau aparat pemerintah melakukan tugasnya hanya untuk menyenangkan atasan atau pihak berkuasa, tanpa mempertimbangkan prosedur yang benar, kualitas kerja, atau kepentingan masyarakat. Dalam budaya ini, atasan seringkali menjadi pusat perhatian utama bagi bawahan, dan keputusan yang diambil lebih berfokus pada apa yang dianggap bisa memuaskan atasan, meskipun terkadang bertentangan dengan aturan atau etika.
Sikap ini bisa tercermin dalam banyak aspek kehidupan birokrasi, misalnya dalam penyusunan laporan, pengambilan keputusan, pengelolaan anggaran, bahkan dalam pengadaan barang dan jasa. Pegawai birokrasi lebih cenderung untuk melakukan segala hal agar atasan merasa puas, meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
2. Penyebab Munculnya Budaya ‘Asal Bapak Senang’ di Birokrasi
Budaya “asal bapak senang” tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan. Beberapa faktor penyebab utama budaya ini berkembang di birokrasi Indonesia antara lain:
a. Hierarki yang Kaku dan Terpusat
Birokrasi di Indonesia cenderung sangat hierarkis, dengan atasan yang memiliki wewenang lebih besar dalam mengambil keputusan. Posisi bawahan sering kali dianggap sebagai pelaksana saja, yang tugasnya adalah melaksanakan apa yang diperintahkan oleh atasannya, tanpa banyak pertimbangan. Di banyak kasus, keputusan dari atasan dianggap sebagai keputusan mutlak yang tidak bisa dipertanyakan atau dilawan, sehingga pegawai bawah merasa harus mematuhi atasan dengan cara apapun, bahkan jika hal itu tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
b. Ketergantungan pada Penilaian Atasan
Dalam dunia birokrasi, penilaian dari atasan merupakan faktor utama yang menentukan kenaikan pangkat, promosi, atau insentif. Ketergantungan yang besar terhadap penilaian ini mendorong pegawai untuk lebih mementingkan apa yang diinginkan oleh atasan daripada mematuhi prosedur yang benar. Hal ini memunculkan pola pikir bahwa menyenangkan atasan adalah kunci untuk mendapatkan penghargaan atau kemajuan dalam karir mereka.
c. Budaya Patronase dan Nepotisme
Di banyak kasus, hubungan patronase dan nepotisme turut memperburuk budaya “asal bapak senang”. Pekerjaan dan posisi tertentu sering kali diperoleh berdasarkan hubungan pribadi dengan pejabat atau atasan, bukan berdasarkan kompetensi atau kinerja. Hal ini menyebabkan pegawai birokrasi merasa perlu untuk loyal pada atasan, meskipun mereka tahu bahwa keputusan atau kebijakan yang diambil tidak selalu menguntungkan masyarakat atau negara. Nepotisme dan patronase sering kali memperburuk kualitas pelayanan publik dan menambah ketidakadilan dalam pemerintahan.
d. Kurangnya Akuntabilitas dan Pengawasan
Sistem pengawasan yang lemah atau tidak efektif di banyak instansi pemerintah juga menjadi faktor yang memperkuat budaya “asal bapak senang”. Tanpa adanya pengawasan yang ketat, pegawai birokrasi merasa tidak ada konsekuensi nyata jika mereka hanya berfokus pada kepuasan atasan tanpa mengikuti prosedur yang benar. Kurangnya akuntabilitas di kalangan aparat birokrasi menyebabkan mereka tidak merasa bertanggung jawab atas tindakannya, yang pada akhirnya semakin memperkuat budaya yang merugikan ini.
3. Dampak Negatif Budaya ‘Asal Bapak Senang’
Budaya “asal bapak senang” memiliki dampak yang sangat luas dan merugikan dalam berbagai aspek kehidupan pemerintahan dan masyarakat. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan antara lain:
a. Mengurangi Kualitas Layanan Publik
Salah satu dampak langsung dari budaya “asal bapak senang” adalah turunnya kualitas layanan publik. Ketika pegawai birokrasi lebih fokus untuk menyenangkan atasan daripada melayani kepentingan masyarakat, hasil dari pekerjaan mereka sering kali tidak optimal. Proses pelayanan menjadi lambat, tidak transparan, dan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pengurusan izin atau perizinan yang seharusnya cepat dan efisien bisa terhambat hanya karena pejabat birokrasi lebih peduli untuk memberikan jawaban atau keputusan yang diinginkan oleh atasan, bukan solusi yang terbaik bagi rakyat.
b. Meningkatkan Potensi Korupsi
Budaya “asal bapak senang” juga meningkatkan potensi terjadinya praktik korupsi di birokrasi. Ketika pegawai birokrasi merasa bahwa mereka hanya perlu menyenangkan atasan dan mengutamakan loyalitas daripada menjalankan tugas mereka sesuai aturan, mereka lebih cenderung terlibat dalam praktik-praktik ilegal, seperti meminta suap atau menerima gratifikasi. Atasan yang juga memiliki pola pikir yang sama seringkali tidak peduli dengan integritas bawahan mereka, asalkan keputusan atau tindakan yang diambil sesuai dengan keinginan mereka. Korupsi yang terjadi dalam konteks ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
c. Melemahkan Profesionalisme
Budaya ini secara langsung mengikis nilai profesionalisme dalam birokrasi. Pegawai tidak lagi bertindak berdasarkan kompetensi atau standar yang berlaku, tetapi lebih berdasarkan pada kehendak atasan. Mereka tidak diberikan ruang untuk berinovasi atau mengemukakan pendapat yang bertujuan untuk perbaikan kinerja, karena mereka takut jika pendapat mereka bertentangan dengan keinginan atasan. Profesionalisme yang seharusnya menjadi landasan dalam setiap tindakan birokrasi justru tergerus oleh kepatuhan buta terhadap atasan.
d. Menghambat Implementasi Kebijakan yang Efektif
Budaya “asal bapak senang” juga menghambat implementasi kebijakan yang efektif. Ketika keputusan hanya diambil untuk menyenangkan atasan, keputusan tersebut sering kali tidak mencerminkan kepentingan jangka panjang yang baik bagi negara atau masyarakat. Kebijakan yang diambil dalam suasana yang tidak objektif atau berlandaskan pada loyalitas politik akan cenderung mengabaikan asas-asas keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan. Akibatnya, kebijakan tersebut seringkali gagal mencapai tujuan yang diinginkan atau malah menambah masalah yang ada.
e. Memperburuk Ketidakadilan di Dalam Sistem
Budaya ini juga memperburuk ketidakadilan dalam birokrasi. Ketika kepentingan atasan lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat atau aturan yang ada, maka keputusan yang diambil sering kali tidak adil. Misalnya, dalam pengadaan barang dan jasa, keputusan untuk memilih perusahaan atau kontraktor tidak berdasarkan kompetensi atau kualitas, tetapi hanya karena mereka bisa menyenangkan pihak yang berkuasa. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang berlarut-larut dalam masyarakat.
4. Langkah-Langkah Mengatasi Budaya ‘Asal Bapak Senang’
Mengingat dampak buruk yang ditimbulkan oleh budaya “asal bapak senang”, sangat penting untuk segera mengambil langkah-langkah strategis guna mengubah budaya ini dan menciptakan birokrasi yang lebih transparan, profesional, dan akuntabel. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
a. Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas
Salah satu langkah utama dalam mengatasi budaya ini adalah dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam semua proses birokrasi. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh aparat birokrasi dapat dipertanggungjawabkan dan diawasi oleh publik. Teknologi dan sistem digital bisa digunakan untuk mempermudah akses informasi bagi masyarakat dan memastikan bahwa setiap langkah dalam pengambilan keputusan dapat dipantau dengan baik.
b. Mendorong Penguatan Profesionalisme Pegawai
Peningkatan profesionalisme di kalangan pegawai birokrasi harus menjadi prioritas utama. Pemerintah harus memberikan pelatihan yang tepat bagi pegawai birokrasi agar mereka memahami tugas dan tanggung jawab mereka secara menyeluruh dan dapat melaksanakan pekerjaan dengan integritas. Pembentukan budaya kerja yang berbasis pada kompetensi, bukan loyalitas buta, akan mengurangi praktik-praktik negatif yang muncul akibat budaya “asal bapak senang”.
c. Pemberantasan Nepotisme dan Patronase
Langkah selanjutnya adalah memberantas praktik nepotisme dan patronase yang selama ini memperburuk birokrasi. Pemerintah perlu menegakkan sistem meritokrasi, di mana pegawai dan pejabat diangkat berdasarkan kinerja dan kemampuan, bukan karena hubungan pribadi atau politik. Dengan cara ini, akan tercipta birokrasi yang lebih adil dan profesional.
d. Meningkatkan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Meningkatkan pengawasan terhadap kinerja birokrasi dan memastikan adanya penegakan hukum yang tegas terhadap setiap penyalahgunaan wewenang juga sangat penting. Pemerintah harus memperkuat lembaga pengawasan internal dan eksternal, seperti Ombudsman dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memantau dan menindak pelanggaran yang terjadi dalam birokrasi.
Budaya “asal bapak senang” telah menciptakan banyak masalah di dalam birokrasi Indonesia, mulai dari menurunnya kualitas pelayanan publik hingga meningkatnya praktik korupsi dan ketidakadilan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh aparat birokrasi untuk melakukan perubahan yang mendalam, dengan meningkatkan transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas dalam seluruh sistem birokrasi. Diperlukan juga upaya pemberantasan nepotisme dan patronase yang selama ini memperburuk kualitas pemerintahan. Hanya dengan perubahan yang sistematis dan konsisten, kita dapat menciptakan birokrasi yang lebih baik untuk melayani kepentingan rakyat dan negara.