Mengapa Kesiapsiagaan Bencana Masih Lemah?

Kesiapsiagaan bencana adalah kemampuan individu, komunitas, dan institusi untuk mengenali ancaman, mengambil langkah pencegahan, dan merespons secara cepat dan efektif ketika bencana terjadi. Dalam teori, banyak negara dan daerah telah menyusun rencana, standar operasional prosedur, dan alur komando. Namun kenyataannya di lapangan, ketika gempa, banjir, longsor, atau letusan gunung terjadi, respons masih sering terlambat, evakuasi tidak optimal, logistik kacau, dan korban serta kerugian materiil tetap besar. Artikel ini menguraikan secara naratif dan mudah dipahami mengapa kesiapsiagaan bencana di banyak tempat masih lemah, mengidentifikasi akar permasalahan yang bersifat struktural, teknis, budaya, dan politik, serta menawarkan gambaran langkah-langkah praktis yang diperlukan untuk memperkuat ketahanan terhadap bencana.

Pemahaman tentang Kesiapsiagaan yang Masih Parsial

Salah satu kendala mendasar adalah pemahaman yang parsial tentang apa itu kesiapsiagaan. Banyak pihak memaknai kesiapsiagaan hanya sebagai perangkat atau kegiatan sesaat, seperti memiliki rencana evakuasi tertulis atau membeli peralatan penyelamatan. Padahal kesiapsiagaan sejati meliputi kapasitas sistem, latihan berkala, pembelajaran dari kejadian sebelumnya, mekanisme pendanaan yang tersedia untuk respon awal, serta komunitas yang sadar risiko. Ketika pemahaman hanya pada bentuk formal, aspek-aspek lain seperti budaya kesiapsiagaan, interoperabilitas antar-institusi, dan pembentukan jaringan lokal cenderung diabaikan sehingga ketika bencana datang, persiapan yang tampak di atas kertas tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Kelemahan Tata Kelola dan Koordinasi Antar-Lembaga

Kesiapsiagaan bencana melibatkan banyak aktor: pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan penanggulangan bencana, dinas kesehatan, dinas pekerjaan umum, kepolisian, TNI, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Kerap kali peran dan tanggung jawab antar-lingkungan ini tumpang tindih atau tidak jelas. Koordinasi yang lemah menyebabkan duplikasi kegiatan di beberapa wilayah sementara wilayah lain tertinggal. Mekanisme komando yang tidak efektif pada saat krisis menghambat pengambilan keputusan cepat. Tanpa struktur koordinasi yang jelas dan uji coba prosedur secara rutin, kesiapsiagaan institusional akan rapuh.

Keterbatasan Anggaran untuk Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Banyak pemerintah daerah berhadapan dengan anggaran yang ketat dan prioritas pengeluaran yang beragam. Investasi dalam pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan seringkali kalah saing dibanding kebutuhan pembangunan infrastruktur, gaji pegawai, atau program sosial. Padahal pencegahan dan kesiapsiagaan adalah investasi jangka panjang yang memperkecil biaya respon dan pemulihan. Ketika anggaran untuk pembinaan masyarakat, latihan evakuasi, penguatan infrastruktur tahan bencana, atau pengadaan peralatan penanggulangan minim, maka masyarakat akan tetap rentan meskipun rencana dan prosedur telah dibuat.

Kesenjangan Kapasitas Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia yang kompeten adalah jantung kesiapsiagaan. Di banyak daerah, personel yang menangani kebencanaan belum memiliki pelatihan yang memadai, baik dalam perencanaan mitigasi, manajemen logistik darurat, evakuasi massal, maupun penanganan trauma psikososial. Rotasi pegawai, beban kerja yang tinggi, dan kurangnya pelatihan lanjutan membuat kelembagaan kehilangan kontinuitas pengetahuan. Selain itu, relawan dan komunitas lokal yang seharusnya menjadi ujung tombak respon cepat sering tidak terlatih atau tidak terjaring dalam mekanisme resmi, sehingga peran mereka tidak optimal saat krisis.

Rendahnya Partisipasi dan Kesadaran Komunitas

Kesiapsiagaan tidak akan efektif tanpa partisipasi aktif dari komunitas. Namun di banyak tempat, kesadaran risiko di tingkat masyarakat masih rendah. Beberapa alasan meliputi minimnya edukasi berkelanjutan, rasa aman yang palsu karena belum pernah mengalami bencana besar sebelumnya, atau kepercayaan bahwa pemerintahlah yang akan menanggung seluruh risiko. Ketika komunitas tidak terlibat dalam perencanaan dan latihan, mereka tidak memiliki kebiasaan mitigasi seperti menyusun rencana keluarga, menyiapkan kit darurat, atau mengetahui rute evakuasi. Tanpa partisipasi aktif, respons awal sering bergantung pada bantuan luar yang membutuhkan waktu.

Infrastruktur dan Perencanaan Wilayah yang Rentan

Perencanaan tata ruang yang lemah dan infrastruktur yang tidak tahan bencana menjadi penyebab utama kerugian besar. Bangunan yang dibangun di zona rawan longsor atau bantaran sungai, permukiman padat tanpa drainase memadai, serta infrastruktur kritis seperti jembatan dan jalan yang rapuh membuat dampak bencana meluas. Perubahan penggunaan lahan tanpa mempertimbangkan resiko amplifies the problem; misalnya penebangan hutan yang meningkatkan risiko banjir bandang. Perencanaan yang kurang memperhitungkan aspek risiko mengakibatkan masyarakat berada pada posisi yang rentan sejak awal.

Sistem Peringatan Dini yang Belum Merata dan Berkelanjutan

Peringatan dini adalah komponen penting kesiapsiagaan; namun cakupan dan kualitas sistem peringatan dini tetap belum merata. Di beberapa wilayah, sinyal peringatan tidak sampai ke lapisan masyarakat karena jaringan telekomunikasi yang buruk, keterbatasan perangkat keras, atau kurangnya integrasi antarinstansi. Selain itu, informasi peringatan yang disampaikan kadang kurang jelas atau tidak diikuti panduan tindakan. Tanpa mekanisme penyampaian pesan yang mudah dimengerti dan dapat diandalkan, masyarakat tidak bisa segera melakukan langkah-langkah protektif ketika ancaman muncul.

Keterbatasan Data Risiko dan Analisis yang Memadai

Pengambilan keputusan yang efektif memerlukan data risiko yang akurat: peta zona bahaya, data populasi rentan, infrastruktur kritis, dan asumsi skenario bencana. Di banyak daerah, data tersebut tidak tersedia, tidak terbarui, atau tidak terdokumentasi secara terpadu. Tanpa data yang baik, perencanaan mitigasi menjadi spekulatif dan prioritas alokasi sumber daya tidak tepat. Ketiadaan basis data juga menyulitkan evaluasi program kesiapsiagaan karena tidak ada baseline yang membuat kemajuan dapat diukur.

Hambatan Budaya dan Persepsi terhadap Risiko

Budaya lokal dan persepsi terhadap bencana memengaruhi cara masyarakat merespons ancaman. Beberapa komunitas memandang bencana sebagai bagian dari takdir atau warisan spiritual sehingga tindakan mitigasi dianggap kurang relevan. Di sisi lain, norma sosial seperti mengutamakan kepemilikan rumah di lokasi rawan atau mengabaikan peringatan karena takut menimbulkan panik menyulitkan pelaksanaan evakuasi. Perubahan perilaku tidak bisa hanya memaksakan regulasi teknis; diperlukan pendekatan kultural yang sensitif untuk merubah persepsi sekaligus membangun kebiasaan adaptif.

Fragmentasi Peran Sektor Swasta dan LSM

Sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil memiliki potensi besar dalam kesiapsiagaan: mereka dapat menyediakan sumber daya, teknologi, serta kapasitas respons cepat. Namun koordinasi antara pemerintah, swasta, dan LSM sering tidak optimal. Tanpa mekanisme kemitraan yang jelas, peran yang bisa diambil oleh berbagai pihak menjadi tumpang tindih atau menghilang. Keterlibatan sektor swasta juga membutuhkan insentif dan kepastian peran sehingga mereka bersedia mengalokasikan sumber daya untuk upaya pencegahan dan kesiapsiagaan.

Regulasi dan Penegakan Hukum yang Lemah

Peraturan terkait bangunan tahan gempa, tata ruang, dan standardisasi konstruksi seringkali ada, tetapi implementasi dan penegakan yang lemah mengurangi efektivitasnya. Izin pembangunan yang longgar, suap dalam proses perizinan, atau kurangnya inspeksi teknis membuat bangunan berisiko tetap berdiri. Tanpa penegakan hukum yang konsisten, upaya teknis mitigasi akan kalah oleh praktik pembangunan yang mengabaikan standar keselamatan.

Masalah Logistik dan Rantai Pasok Saat Respon Darurat

Ketika bencana terjadi, kecepatan logistik menjadi penentu banyak hal: suplai air bersih, makanan, obat-obatan, dan shelter harus tersedia cepat. Di banyak kejadian, kendala akses, jalan rusak, dan keterbatasan gudang logistik memperlambat respon. Sistem logistik darurat yang belum dibangun dan diuji menyebabkan distribusi bantuan tidak merata, tumpukan barang di titik tertentu, dan kekurangan di titik lain. Manajemen rantai pasok yang rapih dan cadangan strategis perlu dikembangkan agar respon lebih efektif.

Kurangnya Latihan dan Simulasi yang Rutin

Latihan dan simulasi adalah sarana untuk menguji rencana dan memperbaiki kelemahan. Namun latihan yang bersifat sporadis atau hanya formalitas tidak menghasilkan kemampuan nyata. Sering kali simulasi hanya sekadar unjuk di depan kamera tanpa evaluasi yang mendalam. Latihan yang efektif harus memadukan aspek teknis, koordinasi, komunikasi publik, dan partisipasi komunitas. Tanpa latihan berkala, keterampilan praktis akan memudar dan koordinasi antar-institusi tidak terasah.

Tantangan Pemulihan Jangka Panjang yang Terkait Kesiapsiagaan

Fokus pada respon jangka pendek seringkali mengalahkan perhatian terhadap pemulihan jangka panjang. Ketiadaan strategi pemulihan yang inklusif menyulitkan pembangunan kembali yang lebih tahan bencana. Pemulihan yang cepat namun tidak memperbaiki kerentanan lama hanya mengembalikan masyarakat ke kondisi semula rentan. Kesiapsiagaan yang baik harus membayangkan siklus lengkap: mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan yang membangun kembali dengan prinsip ‘build back better’.

Ketergantungan pada Bantuan Eksternal

Beberapa daerah sangat bergantung pada bantuan eksternal baik dari pusat maupun donor internasional. Ketergantungan ini bisa menghambat inisiatif lokal untuk membangun kapasitas karena sumber daya eksternal datang hanya pada saat kejadian besar. Upaya kesiapsiagaan yang berkelanjutan memerlukan kepemilikan lokal dan pendanaan lokal yang tersedia bahkan di waktu tidak ada krisis. Ketergantungan membuat respons lamban saat bantuan luar belum tiba.

Isu Komunikasi Krisis yang Kurang Efektif

Komunikasi yang cepat, jelas, dan konsisten adalah kunci untuk mengurangi kebingungan dan kepanikan. Namun di banyak kejadian, pesan yang disampaikan tidak jelas, bertentangan antar-institusi, atau tidak sampai ke kelompok rentan. Selain itu, penggunaan bahasa teknis atau istilah yang tidak dipahami masyarakat mengurangi efektivitas peringatan. Strategi komunikasi krisis yang memperhitungkan media lokal, bahasa setempat, dan saluran informal sangat penting agar informasi bisa diakses oleh semua pihak.

Tekanan Politik Jangka Pendek yang Mengalahkan Investasi Mitigasi

Politik lokal sering berebut waktu dan sumber daya untuk isu-isu yang dapat menunjukkan hasil cepat kepada pemilih. Investasi dalam mitigasi dan kesiapsiagaan yang hasilnya terlihat dalam jangka panjang cenderung diabaikan. Kebijakan publik yang visioner membutuhkan keberanian politik yang tidak selalu nyaman. Tanpa dukungan politik yang konsisten, upaya pencegahan akan tetap lemah.

Jalan Menuju Kesiapsiagaan yang Lebih Kuat

Mengatasi kelemahan kesiapsiagaan memerlukan pendekatan holistik: memperkuat tata kelola dan koordinasi, memastikan alokasi anggaran yang memadai untuk mitigasi dan latihan, membangun kapasitas SDM dan relawan, memperluas kesadaran komunitas, memperbaiki tata ruang dan infrastruktur, serta membangun sistem peringatan dini dan logistik yang andal. Pendekatan ini juga harus melibatkan sektor swasta, LSM, akademisi, dan masyarakat dalam kemitraan yang jelas. Pendidikan berkelanjutan dan latihan rutin harus menjadi bagian dari budaya lokal, sementara kebijakan harus menegakkan standar keselamatan dan memberikan insentif untuk pengurangan risiko.

Kesiapsiagaan sebagai Upaya Kolektif dan Berkelanjutan

Kesiapsiagaan bencana bukan sekadar tugas sekelompok pejabat atau badan penanggulangan bencana. Ia adalah upaya kolektif yang melibatkan setiap lapisan masyarakat: dari pembuat kebijakan, teknokrat, relawan, hingga keluarga yang menyiapkan rencana evakuasi sederhana. Kelemahan yang ada bukanlah tak terselesaikan; banyak solusi teknis dan kebijakan telah diketahui, tetapi memerlukan komitmen politik, pembiayaan, dan perubahan budaya untuk direalisasikan. Dengan membangun kapasitas secara berkelanjutan, memperkuat koordinasi, dan menempatkan komunitas sebagai pusat kesiapsiagaan, masyarakat akan lebih siap menghadapi berbagai ancaman dan mengurangi dampak bencana di masa mendatang.

Loading