Mengapa Politik Identitas Masih Menguat?

Memahami fenomena yang terus hidup

Politik identitas adalah fenomena yang tampak semakin kuat di banyak negara. Di berbagai belahan dunia, wacana politik sering berputar pada persoalan identitas—suku, agama, ras, gender, atau orientasi seksual—yang kemudian dijadikan basis mobilisasi massa. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa, meski banyak orang menyadari risiko polarisasi dan fragmentasi sosial, politik identitas tetap tumbuh dan kadang bahkan menguat. Mengapa gagasan ini terus menarik dukungan, dan apa saja faktor yang membuatnya bertahan? Untuk menjawab itu kita perlu melihat gambaran yang lebih luas: bukan hanya politik praktis, melainkan juga kondisi sosial-ekonomi, perubahan teknologi, sejarah, psikologi kelompok, dan kelemahan institusi publik. Artikel ini berusaha menjelaskan penyebab yang saling terkait dengan bahasa sederhana dan contoh yang mudah dipahami agar pembaca dapat melihat kenapa politik identitas tidak sesederhana sekadar “orang memilih berdasarkan etnisnya”.

Apa yang dimaksud politik identitas?

Sebelum melangkah jauh, penting menjelaskan apa itu politik identitas. Politik identitas pada dasarnya adalah praktik politik di mana kelompok memakai identitas kolektif—misalnya agama, suku, ras, atau orientasi seksual—sebagai basis tuntutan, solidaritas, atau mobilisasi politik. Identitas memberi rasa kebersamaan dan membentuk batasan antara “kami” dan “mereka”. Dalam konteks demokrasi, politik identitas bisa menjadi cara bagi kelompok yang terpinggirkan menuntut pengakuan atau hak. Namun di sisi lain, politik identitas juga bisa dipakai untuk memperkuat kepentingan sempit, menimbulkan permusuhan, atau menggiring politik ke arah konflik identitas yang membelah masyarakat. Dengan memahami pengertian dasar ini, kita bisa menelusuri alasan mengapa politik identitas kerap kali muncul dan bertahan.

Warisan sejarah dan memori kolektif

Salah satu alasan mendasar mengapa politik identitas tetap kuat adalah jejak sejarah yang panjang. Banyak masyarakat menyimpan memori kolektif tentang pengalaman bersama—penindasan, perjuangan kemerdekaan, diskriminasi, atau konflik—yang membentuk identitas kelompok selama generasi. Memori ini bukan sekadar kenangan, melainkan sumber narasi yang memberi makna dan legitimasi bagi tuntutan politik. Ketika elit politik atau tokoh masyarakat membangkitkan kembali narasi tersebut, mereka tidak perlu menciptakan sentimen baru; cukup menyalakan kembali memori lama yang sudah melekat pada identitas kelompok. Di banyak negara pasca-kolonial, misalnya, garis batas etnis dan agama yang ditinggalkan oleh masa lalu sulit dihapus begitu saja. Ini membuat politik identitas menjadi medium yang mudah dipakai untuk menghubungkan masa lalu dan tuntutan masa kini.

Ketidaksetaraan ekonomi dan marginalisasi sosial

Aspek ekonomi memiliki peranan besar dalam memperkuat politik identitas. Ketika kelompok tertentu merasa secara historis tertinggal atau mengalami kelangkaan akses terhadap lapangan pekerjaan, layanan publik, atau kesempatan pendidikan, identitas kolektif menjadi jalan bagi mereka untuk berbicara. Ketidaksetaraan tidak selalu terlihat hanya dalam angka pendapatan; ia juga dapat muncul sebagai kurangnya representasi di posisi publik, perasaan diabaikan oleh kebijakan, atau akses yang tidak merata terhadap jaringan sosial. Ketika frustrasi atas kondisi ekonomi bertumpu pada perbedaan identitas, politik identitas memberi kerangka untuk menyampaikan tuntutan. Dengan kata lain, identitas menjadi semacam wadah organisasi bagi mereka yang menuntut perubahan distributif.

Peran elite politik dan strategi kampanye

Tidak bisa diabaikan bahwa para elite politik punya kepentingan dalam memperkuat atau memanfaatkan identitas. Dalam situasi kompetisi elektoral, menjanjikan perlindungan atau prioritas bagi kelompok identitas tertentu sering kali menjadi strategi efektif untuk memenangkan suara. Elite dapat menggambarkan ancaman eksternal atau “lawan” yang berbeda identitas, lalu memosisikan diri sebagai pelindung kelompok. Strategi semacam itu bekerja karena ia menyederhanakan pilihan politik: memilih kandidat atau partai bukan lagi semata soal program ekonomi, tetapi soal keberlangsungan identitas dan keamanan kelompok. Elite juga seringkali mengemas isu-isu ekonomi dan sosial dalam narasi identitas sehingga konflik struktural tampak seperti masalah identitas semata, padahal akar permasalahan mungkin kebijakan publik, akses, atau korupsi.

Media, algoritma, dan penyebaran pesan identitas

Era digital telah mengubah cara orang mendapatkan informasi dan membentuk opini. Media sosial dan platform digital mempermudah penyebaran narasi identitas karena pesan emosional dan sederhana cenderung lebih viral. Algoritma yang mengutamakan interaksi dan waktu tonton akan menampilkan konten yang paling memicu reaksi, dan konten yang menguatkan identitas kelompok sering kali memicu reaksi emosional. Akibatnya, ruang publik menjadi “gelembung” di mana kelompok melihat narasi yang memperkuat pandangan mereka dan mengabaikan pandangan lain. Selain itu, informasi palsu atau narasi sepotong-sepotong dapat disebarkan cepat untuk membentuk persepsi tertentu tentang kelompok lain. Media arus utama juga kadang memegang peran dalam menguatkan identitas jika pemberitaan memilih bingkai identitas untuk menarik perhatian pembaca, sehingga wacana publik semakin terpolarisasi.

Ketakutan dan kebutuhan akan rasa aman

Politik identitas bukan hanya soal hak atau keuntungan material; juga erat berkaitan dengan rasa aman psikologis. Identitas memberi rasa kepemilikan dan prediktabilitas dalam dunia yang penuh perubahan. Ketika masyarakat merasakan ketidakpastian—entah karena perubahan ekonomi, gelombang migrasi, atau ancaman budaya—mereka cenderung kembali pada identitas untuk mendapatkan rasa aman. Para pemimpin yang pandai membaca kecemasan ini dapat memanfaatkan ketakutan untuk memobilisasi dukungan. Rasa aman yang dicari tidak selalu rasional; kadang ia bersifat simbolik: mempertahankan simbol budaya, bahasa, atau ritual. Dalam konteks politik, janji perlindungan terhadap simbol-simbol itu menjadi klaim kuat yang mengaktivasi dukungan.

Identitas sebagai sumber legitimasi dan representasi

Dalam demokrasi modern, klaim representasi menjadi hal sentral. Banyak kelompok yang mengalami kurangnya representasi politik mengandalkan identitas untuk menuntut ruang suara. Politik identitas, dalam versi yang lebih konstruktif, bisa menjadi alat untuk memperbaiki representasi dan mengangkat suara kelompok minoritas. Misalnya, pengorganisasian berbasis identitas dapat mendorong masuknya wakil-wakil yang mengerti persoalan spesifik kelompok, sehingga kebijakan menjadi lebih responsif. Namun masalah muncul ketika representasi identitas dipertukarkan dengan tuntutan eksklusif atau ketika representasi tersebut dipakai untuk menekan kebebasan kelompok lain. Namun mustahil menafikan bahwa bagi banyak orang, politik identitas awalnya lahir dari kebutuhan riil untuk terlihat dan didengar dalam sistem politik.

Perubahan demografi dan urbanisasi

Perubahan demografi seperti urbanisasi, migrasi internal, dan pertumbuhan kelompok usia muda turut mempengaruhi penguatan politik identitas. Di kota-kota besar, percampuran budaya dan identitas dapat memicu persaingan atas ruang dan sumber daya yang terbatas. Migrasi dari desa ke kota sering membawa perbedaan budaya yang menimbulkan ketegangan ketika infrastruktur sosial tidak mampu menampung cepatnya perubahan. Selain itu, generasi muda yang tumbuh dengan akses informasi global bisa membawa identitas baru yang berbeda dari generasi tua, menciptakan benturan nilai. Pola-pola demografi ini memberikan bahan bagi politisasi identitas, karena aktor politik dapat mengklaim diri sebagai wakil “yang paham perubahan” atau sebaliknya sebagai penjaga tradisi.

Agama, budaya, dan simbol sebagai pengikat kuat

Agama dan budaya adalah sumber identitas yang sangat kuat karena mereka menawarkan narasi kosmologis dan aturan kehidupan. Di banyak konteks, politisasi agama atau budaya menghasilkan mobilisasi yang cepat dan berenergi tinggi. Hal ini karena simbol keagamaan atau budaya memiliki daya sugestif yang dalam; mereka terkait dengan moralitas, harga diri, dan kehormatan kolektif. Ketika isu politik dipetakan ke dalam bingkai agama atau budaya, diskusi rasional sering kali kalah cepat oleh sentimen emosional. Perlu dicatat pula bahwa agama dan budaya bisa menjadi sumber solidaritas positif yang memperkuat kohesi sosial. Tantangan muncul ketika simbol-simbol tersebut dipakai untuk mempertajam batas antar-kelompok dan menegaskan superioritas.

Ketidakpercayaan pada institusi publik

Salah satu faktor yang memperkuat politik identitas adalah erosi kepercayaan pada institusi negara atau lembaga publik. Ketika warga merasa institusi tidak adil, tidak mampu menegakkan hukum, atau cenderung korup, mereka cenderung mencari alternatif pengakuan dan perlindungan di luar institusi formal. Kelompok-kelompok identitas kemudian menawarkan mekanisme informal untuk mendapatkan keadilan, bantuan sosial, atau akses pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini, politik identitas memberikan rasa kontrol dan saluran ganti-rugi yang tampak lebih cepat daripada menunggu reformasi institusi. Oleh karena itu, memperbaiki legitimasi lembaga publik adalah salah satu cara untuk meredam kebutuhan mencari perlindungan melalui identitas ini.

Globalisasi, migrasi, dan reaksi terhadap perubahan

Globalisasi membawa arus barang, modal, ide, dan orang yang sangat cepat. Dampaknya beragam: ada yang diuntungkan oleh pasar global, ada pula yang merasa terpinggirkan. Reaksi atas perubahan global sering mengambil bentuk identitas. Mereka yang merasakan ancaman terhadap mata pencaharian atau budaya cenderung mencari perlindungan identitas untuk mempertahankan status yang dianggap terancam. Politik identitas juga sering dipicu oleh retorika tentang kehilangan kendali atas nasib lokal akibat pengaruh asing atau kebijakan internasional. Dalam banyak kasus, narasi “kembali ke akar” menjadi respons terhadap ketidakpastian yang dibawa oleh dinamika global.

Teknologi dan fragmentasi ruang publik

Teknologi informasi yang seharusnya membuka ruang dialog justru mempermudah fragmentasi. Platform digital memungkinkan pembentukan komunitas kecil berdasarkan minat dan identitas yang sangat spesifik. Fragmentasi ini membuat pemahaman bersama menjadi menipis karena setiap kelompok menikmati konten yang menegaskan identitasnya. Ketika ruang publik yang bersifat universal berkurang, medan perdebatan menjadi lebih terpolarisasi. Dalam situasi seperti itu, politik identitas berkembang karena ia menjadi bahasa komunikasi yang dipahami dalam komunitas tersebut, sementara bahasa kebijakan umum menjadi asing. Mengatasi fragmentasi memerlukan usaha membangun ruang publik baru yang inklusif dan memperkuat literasi media.

Emosi politik: marah, takut, dan bangga

Politik identitas bergerak bukan hanya oleh kepentingan rasional, tetapi juga oleh emosi. Marah terhadap ketidakadilan, takut kehilangan hak, atau bangga atas warisan budaya adalah emosi yang sangat kuat. Para aktor politik mengetahui ini dan menggunakan simbol serta narasi yang menyentuh emosi. Emosi ini membuat posisi politik menjadi tak mudah berubah sebab ia berkaitan dengan harga diri kelompok. Proses persuasion yang logis sering kalah kuat dibandingkan narasi emosional yang sederhana. Oleh karena itu upaya meredam politik identitas harus mempertimbangkan dimensi emosional, bukan hanya pendekatan rasional semata.

Peran pendidikan dan literasi kritis

Salah satu jalan untuk meredam kecenderungan negatif politik identitas adalah memperkuat pendidikan dan literasi kritis. Ketika orang diajak berpikir kritis, memeriksa sumber informasi, dan memahami konteks sejarah serta sosial yang kompleks, mereka menjadi lebih tahan terhadap pesan-pesan yang memecah. Pendidikan yang kuat juga mendorong keterbukaan terhadap perbedaan dan memupuk kemampuan berempati. Namun pendidikan bukan solusi instan; ia butuh waktu dan investasi jangka panjang. Selain itu, kurikulum yang inklusif dan pengajaran tentang pluralitas budaya dapat membantu membangun generasi yang lebih terbuka terhadap keberagaman.

Dampak politik identitas terhadap demokrasi dan kebijakan publik

Penguatan politik identitas memiliki dampak nyata terhadap demokrasi dan pembuatan kebijakan. Di satu sisi, politik identitas dapat memperkaya demokrasi dengan memasukkan suara kelompok yang sebelumnya marginal. Di sisi lain, bila identitas menjadi dasar utama mobilisasi, kebijakan publik dapat terdistorsi oleh tuntutan kelompok sempit dan mengabaikan kepentingan umum. Polarisasi identitas juga mengurangi ruang kompromi politik sehingga legislasi menjadi sulit dicapai. Selain itu, konflik identitas yang berkepanjangan dapat melemahkan kohesi sosial dan meningkatkan risiko kekerasan. Oleh karena itu penting bagi pembuat kebijakan untuk mencari jalan yang mengakomodasi perbedaan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama.

Mengapa politik identitas tidak mudah diatasi?

Mengatasi politik identitas bukan perkara mudah karena ia berakar pada kombinasi faktor historis, ekonomi, psikologis, dan struktural. Upaya sekadar melarang penggunaan simbol atau retorika adalah tindakan superfisial yang seringkali memicu reaksi balik. Dibutuhkan pendekatan multi-dimensi: memperbaiki ketimpangan ekonomi, memperkuat institusi yang adil, membangun ruang publik yang inklusif, meningkatkan pendidikan, serta regulasi media yang mendorong keberimbangan informasi. Semua itu menuntut konsistensi, kepemimpinan visioner, dan kesabaran karena perubahan struktur sosial tidak terjadi cepat. Selain itu, ada kepentingan politik yang mendapat manfaat dari polarisasi sehingga mereka memiliki insentif untuk mempertahankannya.

Pendekatan yang seimbang dan jangka panjang

Mengurangi dampak negatif politik identitas memerlukan strategi yang seimbang. Pertama, membangun kepercayaan terhadap institusi publik melalui transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan yang adil. Kedua, merancang kebijakan ekonomi yang memperkecil ketimpangan dan memberi peluang bagi kelompok yang tertinggal. Ketiga, mendorong pendidikan warga dan literasi media agar masyarakat lebih sehat secara informasi. Keempat, memperkuat dialog antar-komunitas dengan fasilitator netral dan ruang-ruang pertemuan yang aman. Kelima, mengembangkan aturan main di ranah digital yang meminimalkan penyebaran ujaran kebencian tanpa mengekang kebebasan berpendapat secara tidak proporsional. Semua langkah ini harus ditempuh bersamaan karena fokus pada satu aspek saja tidak akan menyelesaikan akar permasalahan.

Refleksi dan harapan

Politik identitas adalah fenomena kompleks yang muncul dari kebutuhan manusia untuk merasa diakui, aman, dan memiliki ruang hidup bermakna. Ia juga menunjukkan bagaimana struktur sosial dan kebijakan yang tidak responsif dapat dimanfaatkan menjadi sumber konflik. Namun politik identitas bukan nasib takdir; ia dapat diarahkan agar menjadi sumber pengakuan yang sehat dan konstruktif bila dihadapi dengan kebijakan yang adil, pendidikan yang kuat, dan upaya membangun kepercayaan sosial. Harapan terbesar adalah bahwa masyarakat dapat menemukan keseimbangan antara pengakuan atas perbedaan dan komitmen terhadap kepentingan bersama. Dalam jangka panjang, membangun kebersamaan yang inklusif akan membuat politik identitas kehilangan daya destruktifnya dan berubah menjadi ruang yang memperkaya demokrasi, bukan memecahkannya.

Loading