Permasalahan kearsipan di instansi pemerintah tidak hanya terkait lembaran kertas, ruang penyimpanan, atau sistem digital. Salah satu persoalan yang paling mendasar adalah minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar memahami bidang kearsipan secara profesional. Banyak instansi memiliki ribuan dokumen, gudang arsip yang penuh, atau kebutuhan digitalisasi yang mendesak, tetapi hanya sedikit pegawai yang memiliki kompetensi khusus di bidang tersebut. Akibatnya, pengelolaan arsip berjalan seadanya, tidak terstandar, dan sering menimbulkan masalah serius seperti arsip hilang, rusak, atau sulit ditelusuri. Artikel ini akan membahas penyebab minimnya SDM ahli kearsipan di pemerintah, dampaknya terhadap tata kelola dokumen, serta mengapa masalah ini harus segera mendapatkan perhatian.
Kurangnya Pegawai dengan Latar Belakang Pendidikan Kearsipan
Salah satu penyebab utama minimnya SDM ahli kearsipan adalah terbatasnya pegawai yang memiliki pendidikan formal di bidang kearsipan. Banyak ASN yang menangani arsip berasal dari berbagai disiplin ilmu: administrasi umum, keuangan, hukum, hingga pegawai yang sebenarnya ditempatkan sementara. Hanya sedikit yang benar-benar memiliki pengetahuan mendalam tentang teori kearsipan, klasifikasi arsip, retensi dokumen, sistem penyimpanan, atau standar digitalisasi.
Ketersediaan lulusan pendidikan kearsipan dari perguruan tinggi juga belum banyak. Akibatnya, rekrutmen pegawai baru jarang menargetkan kompetensi khusus dalam manajemen arsip. Pegawai yang ditempatkan di bagian kearsipan sering kali belajar secara otodidak atau hanya mengandalkan pengalaman kerja. Hal ini menyebabkan kualitas pengelolaan arsip tidak merata antar-instansi.
Tanpa pendidikan formal yang memadai, pegawai sering kesulitan memahami prinsip dasar seperti asas asal-usul, asas originalitas, metode klasifikasi, hingga ketentuan pemusnahan arsip. Padahal, pengetahuan ini sangat penting agar seluruh proses kearsipan berjalan sesuai aturan.
Kearsipan Masih Dianggap Pekerjaan Rendahan
Di banyak instansi, kearsipan masih sering dianggap sebagai pekerjaan administratif sederhana: menata map, mengarsip surat, atau memindahkan dokumen ke ruangan tertentu. Padahal, kearsipan merupakan profesi penting yang membutuhkan keahlian teknis dan analitis. Banyak pimpinan belum memahami bahwa pengelolaan arsip yang baik berkaitan langsung dengan akuntabilitas institusi, efektivitas pelayanan publik, bahkan keamanan informasi.
Akibat anggapan bahwa kearsipan hanyalah tugas tambahan, pegawai yang ditempatkan di sana sering merasa kurang dihargai. Tidak sedikit pegawai yang ingin dipindahkan ke unit lain karena merasa bidang kearsipan tidak memiliki jenjang karier yang jelas. Minimnya perhatian pimpinan membuat kearsipan tidak menjadi prioritas dalam pengelolaan SDM.
Padahal, negara-negara maju menempatkan arsip sebagai bagian penting dari tata kelola pemerintahan. Mereka memiliki arsiparis profesional dengan pelatihan berkala dan sertifikasi kompetensi yang ketat.
Pelatihan yang Tidak Merata dan Tidak Berkelanjutan
Walaupun beberapa institusi sudah menyediakan pelatihan kearsipan, jumlahnya masih terbatas dan belum menyentuh seluruh ASN terkait. Banyak pelatihan hanya dilakukan satu kali, tanpa pendampingan lanjutan, sehingga pegawai kesulitan ketika menghadapi situasi nyata di lapangan. Pelatihan juga sering terlalu teoritis dan tidak diikuti dengan praktik langsung, terutama dalam hal:
- teknik digitalisasi arsip,
- preservasi arsip fisik,
- manajemen arsip dinamis dan statis,
- pengelolaan retensi,
- klasifikasi dokumen,
- atau penggunaan aplikasi kearsipan digital.
Pelatihan tidak merata menyebabkan kualitas SDM bervariasi. Di unit tertentu, arsip sangat rapi, terstruktur, dan mudah ditemukan. Namun di unit lain, dokumen menumpuk, tidak terklasifikasi, dan sulit ditelusuri. Ketidakseragaman ini menciptakan hambatan besar ketika instansi harus menyajikan data dalam waktu cepat, misalnya saat audit, pemeriksaan, atau permintaan informasi publik.
Penempatan Pegawai yang Tidak Tepat
Masalah umum lainnya adalah penempatan pegawai yang tidak mempertimbangkan kompetensi. Banyak pegawai baru atau pegawai yang akan memasuki masa pensiun ditempatkan di bagian arsip hanya karena dianggap “pekerjaan ringan”. Pegawai yang kurang terlatih kemudian harus mengelola dokumen penting yang seharusnya ditangani secara profesional.
Penempatan yang tidak tepat juga menyebabkan beban psikologis. Pegawai yang tidak memiliki minat di bidang kearsipan menjadi kurang berkomitmen. Mereka mengerjakan tugas secara minimal, tidak melakukan inovasi, dan tidak tertarik mengikuti pelatihan. Kondisi ini memperburuk kualitas pengelolaan arsip di instansi.
Idealnya, pengelolaan arsip harus dilakukan oleh tenaga yang benar-benar memiliki minat, latar belakang pendidikan, serta motivasi yang kuat untuk mendalami bidang ini. Tanpa itu, berbagai aturan kearsipan hanya akan menjadi dokumen formal yang tidak diterapkan di lapangan.
Beban Kerja yang Tidak Sebanding
Mengelola arsip pemerintah bukan pekerjaan ringan. Volume dokumen sangat besar, jenis arsip beragam, dan kebutuhan akses informasi tinggi. Namun, jumlah pegawai yang ditugaskan di bagian arsip biasanya sangat sedikit. Sering kali hanya satu atau dua orang yang harus menangani ribuan dokumen dari berbagai unit. Beban kerja yang berat ini menyebabkan pegawai kewalahan dan tidak mampu menjaga kualitas.
Ketika pegawai terlalu sibuk dengan pekerjaan dasar seperti menerima, menata, dan memindahkan arsip, mereka tidak memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan strategis seperti:
- menyusun kebijakan kearsipan,
- merancang sistem klasifikasi,
- memperbarui jadwal retensi,
- melakukan digitalisasi,
- atau melakukan pengawasan ke unit lain.
Kurangnya tenaga ahli menyebabkan pekerjaan penting terabaikan, dan instansi akhirnya tidak memiliki sistem kearsipan yang berfungsi dengan baik.
Kurangnya Dukungan Teknologi dan Infrastruktur
SDM ahli saja tidak cukup jika tidak didukung sarana yang memadai. Banyak pegawai yang sebenarnya memahami konsep kearsipan modern, tetapi tidak dapat menerapkannya karena keterbatasan fasilitas, seperti:
- tidak adanya aplikasi manajemen arsip,
- scanner yang rusak atau ketinggalan zaman,
- ruang arsip yang tidak memenuhi standar,
- lemari arsip yang terlalu penuh,
- atau tidak adanya server penyimpanan digital.
Pegawai ahli pun akhirnya hanya bisa bekerja seperti pegawai biasa karena tidak memiliki alat untuk menerapkan ilmunya. Dalam kondisi seperti ini, instansi menjadi bergantung pada cara-cara lama yang manual, lambat, dan rawan kesalahan.
Dampak Serius Kekurangan SDM Ahli Kearsipan
Minimnya SDM ahli kearsipan tidak hanya menghasilkan kekacauan dokumen. Dampaknya dapat merembet ke banyak aspek pemerintahan:
- Arsip sulit ditemukan saat diperlukan, terutama ketika ada audit.
- Risiko kehilangan dokumen penting meningkat, termasuk kontrak atau dokumen pertanggungjawaban.
- Digitalisasi berjalan lambat, karena tidak ada pegawai yang mampu memimpin prosesnya.
- Pelayanan publik terganggu, karena informasi tidak tersedia dengan cepat.
- Akuntabilitas menurun, dan instansi dianggap tidak tertib administrasi.
- Kinerja SAKIP dan Reformasi Birokrasi menurun akibat lemahnya bukti dokumen.
Tanpa SDM yang profesional, berbagai regulasi kearsipan hanya menjadi formalitas dan tidak memberikan manfaat nyata.
Haruskah Pemerintah Bertindak Lebih Serius?
Jawabannya: iya, harus.
Kearsipan adalah fondasi dari tata kelola pemerintahan. Tidak ada akuntabilitas tanpa arsip yang baik. Tidak ada transparansi tanpa dokumentasi yang rapi. Tidak ada keputusan yang tepat tanpa data yang dapat dipercaya. Karena itu, kekurangan SDM ahli harus menjadi perhatian utama. Pemerintah perlu mendorong:
- rekrutmen arsiparis profesional,
- peningkatan kompetensi pegawai secara rutin,
- sertifikasi kompetensi kearsipan,
- penempatan pegawai berdasarkan minat dan keahlian,
- serta penyediaan sarana pendukung yang memadai.
Dengan langkah-langkah ini, kualitas kearsipan pemerintah dapat meningkat pesat dan memberi dampak langsung pada tata kelola.
Kesimpulan
Minimnya SDM ahli kearsipan di pemerintah adalah persoalan yang sangat mendasar dan mempengaruhi hampir seluruh aspek pengelolaan dokumen. Tanpa tenaga yang kompeten, sistem kearsipan tidak dapat berjalan optimal, digitalisasi terhambat, dan risiko kehilangan arsip meningkat. Masalah ini bukan hanya soal jumlah pegawai, tetapi juga terkait pendidikan, pelatihan, penempatan, dukungan teknologi, dan budaya organisasi.
Jika pemerintah ingin bergerak menuju tata kelola modern, langkah pertama adalah memperkuat SDM yang menangani arsip. Dengan tenaga yang ahli dan terlatih, seluruh proses kearsipan akan berjalan lebih tertib, lebih cepat, dan lebih akuntabel. Dan pada akhirnya, pelayanan publik pun menjadi lebih baik.
![]()




