I. Pendahuluan
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) oleh instansi pemerintah dan badan usaha merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Melalui mekanisme pemotongan, negara dapat menjamin penerimaan pajak secara tepat waktu dan efisien, serta memastikan bahwa wajib pajak tidak menghindari atau menunda pembayaran pajak. Pemotongan pajak ini juga menjadi bentuk kepatuhan fiskal aktif oleh instansi yang berperan sebagai perpanjangan tangan negara dalam hal pengumpulan pajak.
Bagi instansi, memahami tata cara pemotongan PPh sangat penting untuk memenuhi kewajiban fiskal, menghindari sanksi administrasi, serta menjaga reputasi dan kepercayaan publik. Pemotongan yang tepat tidak hanya berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan, tetapi juga mendukung transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Selain itu, pemahaman yang baik terhadap tata cara pemotongan dapat meminimalkan risiko temuan audit, sengketa pajak, serta memperlancar proses pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana publik.
Artikel ini membahas secara komprehensif dasar hukum, jenis PPh yang dipotong, prosedur teknis, pelaporan, serta aspek pengawasan dan penegakan hukum terkait pemotongan PPh oleh instansi, sehingga dapat menjadi panduan yang praktis dan akurat bagi para pelaku administrasi pemerintahan maupun sektor swasta yang berperan sebagai pemotong pajak.
II. Dasar Hukum Pemotongan PPh
Dasar hukum pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, hingga petunjuk teknis dari otoritas perpajakan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) UU ini merupakan dasar utama yang mengatur ketentuan umum dan tata cara pemotongan PPh. Dalam Pasal 21 hingga Pasal 26, dijelaskan secara rinci jenis-jenis penghasilan yang harus dipotong pajaknya, siapa yang berkewajiban melakukan pemotongan, tarif pajak yang berlaku, serta kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak yang telah dipotong.
Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Beberapa peraturan pelaksana penting antara lain:
- PP Nomor 23 Tahun 2018
tentang PPh atas penghasilan usaha dengan peredaran bruto tertentu (untuk Wajib Pajak UMKM). - PMK No. 213/2016
tentang Pedoman Umum Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. - PMK No. 34/2017
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi (PPh Pasal 21).
Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) dan Surat Edaran
Perdirjen Pajak dan SE DJP menjadi acuan teknis operasional. Beberapa yang penting antara lain:
- Perdirjen Pajak tentang Tata Cara Pelaporan e-SPT dan penggunaan e-Bupot.
- SE-29/PJ/2015 tentang Penyampaian Bukti Potong Elektronik.
- Perdirjen mengenai tata cara validasi NPWP penerima penghasilan.
III. Jenis PPh yang Dapat Dipotong oleh Instansi
Instansi pemerintah dan badan usaha wajib melakukan pemotongan terhadap beberapa jenis PPh yang dikenakan atas penghasilan tertentu, dengan klasifikasi sebagai berikut:
- PPh Pasal 21
Dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, upah lembur, uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang diterima oleh pegawai tetap, pegawai tidak tetap, tenaga ahli, maupun pejabat negara. Pemotongan dilakukan bulanan atau setiap kali pembayaran, dan wajib dilaporkan setiap bulan melalui SPT Masa PPh 21. - PPh Pasal 22
Dipungut oleh instansi pemerintah dan bendahara pemerintah atas pembayaran pembelian barang. Juga dikenakan terhadap kegiatan impor atau penjualan barang yang tergolong sangat strategis. Tariff yang dikenakan bervariasi tergantung pada jenis barang dan pelaku usaha. - PPh Pasal 23
Dikenakan atas penghasilan dari modal, penyerahan jasa, dan hadiah selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21. Contoh penghasilan yang dipotong PPh 23 termasuk royalti, sewa, dan jasa profesional. Tarifnya bervariasi antara 2% hingga 15% tergantung jenis penghasilan. - PPh Pasal 4 ayat (2) – Pajak Final
Jenis ini dikenakan secara final atas penghasilan tertentu seperti sewa bangunan atau tanah, jasa konstruksi, dan usaha mikro kecil dengan omzet tertentu. Karena bersifat final, PPh yang dibayarkan tidak diperhitungkan lagi dalam SPT Tahunan. - PPh Pasal 26
Dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri tanpa bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Misalnya pembayaran royalti kepada perusahaan luar negeri, dengan tarif umum 20% (kecuali terdapat tax treaty).
IV. Subjek dan Objek Pemotongan
Subjek Pemotong
Subjek pemotong adalah pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pemotongan PPh saat terjadi transaksi pembayaran. Yang termasuk dalam kategori ini antara lain:
- Instansi Pemerintah, baik pusat maupun daerah.
- Bendahara Pemerintah, yang membayar penghasilan kepada pihak ketiga.
- BUMN dan BUMD.
- Badan hukum swasta yang ditunjuk oleh DJP.
- Perusahaan dan organisasi lain yang secara konsisten melakukan transaksi pengadaan barang dan jasa.
Pihak-pihak ini harus terdaftar sebagai pemotong pajak aktif di DJP dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Mereka juga wajib menyampaikan laporan pemotongan secara rutin.
Objek Pemotongan
Objek pemotongan PPh ditentukan berdasarkan jenis penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak penerima penghasilan. Setiap pasal PPh memiliki objek yang berbeda:
- PPh Pasal 21: penghasilan bruto pegawai tetap, tidak tetap, pensiunan, tenaga lepas, dan sejenisnya.
- PPh Pasal 22: nilai pembelian barang oleh bendahara pemerintah atau kegiatan impor.
- PPh Pasal 23: nilai bruto pembayaran atas jasa manajemen, teknik, konstruksi, dan sewa.
- PPh Pasal 4(2): nilai transaksi atas sewa tanah/bangunan, jasa konstruksi, dan penghasilan final lainnya.
- PPh Pasal 26: penghasilan bruto sebelum pajak dari pihak luar negeri.
Penentuan nilai objek pemotongan harus memperhatikan ketentuan tarif efektif, biaya tidak kena pajak (PTKP) untuk PPh 21, serta ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam hal transaksi dengan pihak luar negeri. Dengan memahami klasifikasi subjek dan objek ini, instansi dapat lebih akurat dalam melakukan pemotongan dan pelaporan, serta menghindari kesalahan administrasi yang dapat berujung pada sanksi perpajakan.
V. Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tentukan penghasilan bruto karyawan dalam satu periode. Kurangi dengan biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto maksimal Rp500.000 per bulan atau Rp6.000.000 per tahun) serta iuran pensiun yang dibayarkan sendiri oleh karyawan. Kurangi penghasilan neto tahunan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status perorangan:
- Tidak kawin: Rp54.000.000
- Kawin: Tambahan Rp4.500.000
- Tanggungan: Tambahan Rp4.500.000 per orang, maksimal 3 orang.
Tarif Berlapis Terapkan tarif progresif sebagai berikut:
- Sampai Rp60.000.000: 5%
- Rp60.000.001 – Rp250.000.000: 15%
- Rp250.000.001 – Rp500.000.000: 25%
- Rp500.000.001 – Rp5.000.000.000: 30%
- Di atas Rp5.000.000.000: 35%
Pelaksanaan Pemotongan Pemotongan dilakukan setiap kali pembayaran gaji (bulanan). Gunakan aplikasi e-SPT PPh 21 atau e-Bupot untuk mencatat, menghitung, dan menerbitkan bukti potong. Buat bukti potong elektronik (Formulir 1721-A1 untuk karyawan tetap) melalui DJP Online dan serahkan kepada karyawan paling lambat bulan berikutnya setelah tahun pajak berakhir. Pelaporan Laporkan SPT Masa PPh 21 secara elektronik paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pastikan semua bukti potong telah diunggah dan disertakan dalam pelaporan SPT.
VI. Tata Cara Pemungutan PPh Pasal 22 dan 23
PPh Pasal 22 Dipungut oleh:
- Bank Devisa atau Dirjen Bea Cukai atas impor barang.
- Bendahara instansi pemerintah atas pembayaran kepada rekanan pengadaan barang.
Tarif:
- Impor oleh WP Non-NPWP: 7,5%
- Impor oleh WP NPWP: 2,5%-10% tergantung jenis barang.
Setoran dan pelaporan dilakukan oleh bendahara instansi melalui SSP elektronik menggunakan kode akun pajak dan jenis setoran yang sesuai.
PPh Pasal 23 Tarif:
- Dividen, bunga, royalti: 15%
- Sewa dan jasa lain: 2%
Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran, dan bukti potong dibuat secara elektronik melalui aplikasi e-Bupot. SPT Masa PPh 23 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya, disertai dengan bukti potong dan pembayaran.
VII. Pemungutan PPh Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 26
PPh Final Pasal 4(2)
- Sewa tanah/bangunan: 10%
- Jasa konstruksi: 2%-10% tergantung kualifikasi penyedia jasa
- Jasa lainnya sesuai ketentuan PMK
Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran dan tidak memperhitungkan PTKP. Bukti potong diserahkan kepada penerima penghasilan.
PPh Pasal 26 Dikenakan kepada subjek pajak luar negeri atas penghasilan dari Indonesia:
- Umumnya 20% dari bruto, kecuali ditentukan lain oleh tax treaty (P3B)
- Wajib disertakan Certificate of Domicile (CoD) untuk tarif sesuai P3B
Bukti potong dan SPT Masa PPh 26 harus dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
VIII. Mekanisme Setoran, Pelaporan, dan Pembukuan
Setoran Pajak
- Gunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau e-Billing melalui DJP Online
- Setor PPh paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Gunakan kode akun dan jenis setoran sesuai jenis PPh (misal: 411121 untuk PPh 21)
Pelaporan SPT Masa
- Lakukan pelaporan via e-Filing atau e-SPT
- Sertakan dokumen pendukung seperti bukti potong elektronik
- Cetak Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) sebagai bukti resmi
Pembukuan dan Arsip
- Dokumen pajak disimpan minimal 10 tahun
- Dianjurkan digitalisasi arsip agar memudahkan pemeriksaan pajak dan pengawasan
IX. Sanksi Administratif dan Pidana
Sanksi Administratif:
- Keterlambatan setoran: bunga 2% per bulan dari pajak terutang
- Keterlambatan pelaporan: denda Rp100.000 per SPT Masa
- Kesalahan perhitungan: bunga 2% per bulan dan denda 50% dari kekurangan bayar
Sanksi Pidana:
Berdasarkan Pasal 39-39C UU KUP:
- Penggelapan pajak, pemalsuan dokumen, tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
- Hukuman pidana dapat berupa kurungan, denda, atau pidana penjara maksimum 6 tahun
Kepatuhan terhadap ketentuan ini sangat penting agar instansi tidak hanya menjalankan fungsi administratif fiskal, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga integritas sistem perpajakan nasional.
X. Tantangan dan Solusi Implementasi
Tantangan yang Dihadapi Instansi dalam Pemotongan PPh
- Kompleksitas Tarif dan Dinamika Regulasi
Salah satu tantangan utama adalah keragaman jenis PPh dan kompleksitas peraturan perundang-undangan yang menyertainya. Tarif dan ketentuan dapat berbeda tergantung pada subjek pajak (individu, badan, dalam atau luar negeri) serta jenis penghasilan. Misalnya, tarif PPh Pasal 21 bersifat progresif, sementara PPh Pasal 23 dan 26 bisa bersifat final atau non-final, tergantung konteks transaksinya. Pembaruan regulasi yang cukup sering juga menuntut instansi untuk terus menyesuaikan prosedur internal mereka. - Keterbatasan Sistem Teknologi Informasi
Banyak instansi, khususnya pemerintah daerah dan satuan kerja kecil, belum memiliki sistem yang terintegrasi antara aplikasi keuangan, HR, dan perpajakan. Hal ini menyebabkan proses penghitungan dan pelaporan dilakukan secara manual atau terpisah, meningkatkan risiko human error, redundansi data, keterlambatan pelaporan, dan ketidaksesuaian dalam audit. - Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang Kompeten
Tidak semua instansi memiliki ASN atau staf yang memahami secara teknis tata cara pemotongan dan pelaporan PPh. Minimnya pelatihan dan sertifikasi perpajakan membuat staf bendahara atau keuangan rentan melakukan kesalahan, baik dalam perhitungan, pengisian bukti potong, hingga pelaporan SPT Masa. - Koordinasi Internal yang Lemah
Di beberapa instansi, fungsi bendahara, pengadaan, dan keuangan tidak berjalan sinergis. Akibatnya, terjadi pemisahan data dan kurangnya pemahaman holistik terkait kewajiban perpajakan atas transaksi tertentu, terutama saat melibatkan pihak ketiga (vendor, konsultan, dan tenaga ahli).
Solusi Strategis untuk Peningkatan Kinerja Pemotongan PPh
- Pelatihan dan Bimbingan Teknis Berkala
Instansi perlu menjalin kemitraan dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mengadakan pelatihan teknis secara berkala terkait pembaruan regulasi dan praktik pemotongan PPh. Kegiatan seperti klinik pajak, bimbingan teknis (bimtek), dan sesi tanya-jawab online dapat meningkatkan pemahaman dan kesiapan ASN atau staf teknis. - Pengembangan SOP Internal dan Modul e-Learning
Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pemotongan dan pelaporan PPh berbasis regulasi terkini akan mempermudah staf dalam menjalankan kewajiban secara seragam. Modul e-learning interaktif berbasis kasus nyata juga bisa menjadi alternatif pelatihan yang efisien dan berkelanjutan. - Investasi pada Sistem Integrasi Digital
Instansi perlu mulai mengembangkan atau mengadopsi sistem informasi terpadu yang menggabungkan modul keuangan, pengadaan, dan perpajakan (termasuk e-SPT dan e-Bupot). Integrasi ini akan meningkatkan efisiensi kerja, akurasi pelaporan, dan mempermudah pengawasan serta pelacakan data dalam proses audit internal maupun eksternal. - Monitoring dan Evaluasi Kinerja Secara Rutin
Penetapan indikator kinerja utama (KPI) untuk pengelolaan pajak, termasuk tingkat kepatuhan, kecepatan pelaporan, dan akurasi pemotongan, harus menjadi bagian dari penilaian kinerja unit kerja. Monitoring ini dapat dikaitkan dengan sistem reward and punishment agar kepatuhan fiskal menjadi budaya organisasi.
XI. Kesimpulan
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) oleh instansi merupakan elemen penting dalam mendukung keberlanjutan sistem perpajakan nasional. Melalui kewajiban pemotongan ini, instansi pemerintah dan badan usaha berkontribusi langsung terhadap pencapaian target penerimaan negara dan mendorong tertib administrasi fiskal.
Tata cara pemotongan PPh memerlukan pemahaman menyeluruh terhadap berbagai regulasi, mulai dari Undang-Undang PPh, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, hingga kebijakan teknis dari Direktorat Jenderal Pajak. Pelaksanaan yang baik mencakup identifikasi subjek dan objek pajak, penghitungan yang akurat, penggunaan aplikasi perpajakan yang tepat, serta pelaporan dan penyetoran yang tepat waktu.
Namun, implementasinya tidak lepas dari tantangan, mulai dari keterbatasan SDM, kompleksitas sistem informasi, hingga dinamika perubahan kebijakan fiskal. Oleh karena itu, solusi berupa pelatihan, digitalisasi sistem, SOP internal, dan evaluasi berkala harus diadopsi secara konsisten untuk meningkatkan kinerja pemotongan PPh oleh instansi.
Dengan pendekatan yang profesional, adaptif, dan kolaboratif, instansi pemerintah dan badan usaha tidak hanya mampu memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu, tetapi juga memperkuat akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara secara keseluruhan. Efisiensi dan kepatuhan dalam pemotongan PPh akan menjadi pondasi penting dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada pembangunan nasional.