Mengurai Masalah Sertifikasi Tanah

Pendahuluan

Sertifikasi tanah merupakan fondasi utama dalam menciptakan kepastian hukum atas hak milik, penguasaan, dan pemanfaatan lahan di Indonesia. Di tengah kompleksitas tata ruang nasional yang terus berkembang, kepemilikan sertifikat tanah menjadi instrumen legal yang tidak hanya melindungi individu dari sengketa, tetapi juga mendukung kepastian dalam kegiatan ekonomi. Dokumen resmi berupa sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi prasyarat dalam berbagai transaksi strategis-dari jual beli properti, pemanfaatan lahan untuk kepentingan bisnis, hingga agunan untuk memperoleh kredit usaha.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya legalitas lahan, pemerintah pun meluncurkan berbagai program percepatan, seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Namun, di balik ambisi besar ini, masih terdapat tantangan krusial-baik dari sisi teknis, administratif, hingga sosial-ekonomi. Hambatan-hambatan tersebut tak hanya memperlambat proses, tapi juga memperluas potensi konflik agraria dan kesenjangan akses terhadap sumber daya produktif.

Artikel ini akan mengurai secara mendalam faktor-faktor yang menghambat proses sertifikasi tanah di Indonesia, sekaligus menyodorkan alternatif solusi strategis yang bisa ditempuh oleh pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya demi mempercepat, menyederhanakan, dan meminimalkan konflik dalam proses ini.

1. Latar Belakang Pentingnya Sertifikasi Tanah

Indonesia adalah negara agraris dengan potensi lahan pertanian yang luas, melebihi 21 juta hektare. Namun ironi muncul ketika sebagian besar dari tanah tersebut belum memiliki status hukum yang pasti. Hal ini menjadi akar dari berbagai permasalahan agraria yang terjadi selama puluhan tahun, mulai dari konflik antara warga dan perusahaan, sengketa antar ahli waris, hingga penggusuran paksa oleh negara atau pemilik modal.

Program PTSL yang dicanangkan pemerintah sejak 2015 memiliki target ambisius, yakni mendaftarkan seluruh bidang tanah di Indonesia sebanyak 126 juta bidang hingga 2025. Hingga akhir 2024, progres yang dicapai baru menyentuh angka sekitar 95 juta bidang atau 75%. Gap 25% ini mencerminkan tantangan yang tidak bisa dianggap remeh-khususnya di wilayah-wilayah terpencil dan kawasan dengan kompleksitas sosial tinggi.

Sertifikasi tanah bukan semata-mata soal legalitas dokumen, tetapi menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat. Petani yang memiliki sertifikat lebih mudah mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR), investor pun merasa lebih aman mengembangkan properti, dan negara bisa merencanakan tata ruang dan pembangunan infrastruktur secara lebih akurat.

2. Kendala Administratif dalam Proses Sertifikasi

2.1. Persyaratan Dokumen yang Rumit dan Berlapis

Bagi masyarakat umum, proses pengumpulan dokumen sertifikasi sering menjadi hambatan utama. Untuk satu bidang tanah, pemohon harus menyertakan bukti penguasaan tanah (misalnya surat jual-beli, surat waris, atau pernyataan penguasaan), surat ukur, dan dokumen perpajakan seperti SPPT PBB. Di banyak daerah, terutama kawasan rural dan adat, dokumen legal tersebut tidak tersedia karena tanah diwariskan secara lisan turun-temurun.

Ketika dokumen tidak lengkap, masyarakat harus mengurus validasi ke kantor desa, kecamatan, hingga pengadilan. Ini mengakibatkan biaya tambahan dan waktu yang tidak sedikit. Beberapa kantor kecamatan bahkan tidak memiliki tenaga hukum atau paralegal untuk membantu konsultasi, menyebabkan masyarakat sering keliru dalam proses administrasi.

2.2. Proses Birokrasi yang Panjang

Meski prosedur telah diatur secara nasional, implementasi teknis di lapangan sangat bergantung pada efektivitas birokrasi daerah. Proses sertifikasi membutuhkan keterlibatan berbagai pihak: Kantor Pertanahan (BPN), Kantor Desa, Camat, dan petugas pengukuran. Kurangnya koordinasi antar instansi menyebabkan proses yang idealnya bisa selesai dalam tiga bulan, malah molor hingga lebih dari satu tahun di beberapa daerah.

Setiap tahap seperti pengukuran, verifikasi, validasi dokumen, dan input ke sistem SIGA memerlukan tanda tangan dan persetujuan manual. Belum lagi jika terjadi kesalahan teknis atau aduan dari warga sekitar, proses bisa tertunda lebih lama.

2.3. Keterbatasan SDM dan Infrastruktur Kantor BPN

Keterbatasan tenaga ahli dan sarana prasarana menjadi kendala struktural yang signifikan. Di banyak kantor BPN kabupaten/kota, hanya tersedia 2-4 petugas lapangan yang harus menangani ribuan bidang. Idealnya, satu tim lengkap diperlukan untuk setiap 10.000 bidang tanah. Kurangnya petugas memperlambat jadwal survei dan memperbesar kemungkinan kesalahan pengukuran atau input data.

Sebagian besar kantor pertanahan di luar Pulau Jawa juga belum terintegrasi secara penuh ke sistem digital SIGA. Ini berarti pengisian data dan validasi dilakukan secara manual, rentan terhadap human error dan praktik manipulatif.

3. Kendala Teknis dan Geospasial

3.1. Akurasi Pengukuran Lapangan

Penggunaan alat pengukur konvensional di medan sulit seperti pegunungan, rawa-rawa, atau wilayah pesisir menyebabkan hasil pengukuran tidak akurat. Selisih 1-3 meter bisa memicu konflik dengan tetangga lahan yang sudah lebih dahulu memiliki sertifikat. Alat modern seperti Total Station, GNSS, dan drone memang menjanjikan, namun penggunaannya masih terbatas pada proyek-proyek pilot yang didukung pendanaan luar.

3.2. Fragmentasi dan Ketidaksinkronan Peta

Banyak peta desa yang dibuat sejak era 1970-an belum diperbarui dan tidak mengikuti standar nasional (GDM2020). Integrasi data dengan peta nasional menjadi tantangan besar karena skala yang berbeda, proyeksi yang tidak seragam, dan tidak adanya referensi titik kontrol tanah (GCP) yang konsisten.

3.3. Adopsi Teknologi Informasi yang Belum Merata

Meskipun aplikasi seperti Peta Desa Digital dan SIGA dikembangkan, pemanfaatannya belum merata. Faktor penyebabnya mencakup keterbatasan jaringan internet di daerah 3T, minimnya pelatihan penggunaan aplikasi oleh petugas, serta kurangnya infrastruktur pendukung seperti server lokal.

4. Perkara Tumpang Tindih Hak dan Sengketa Agraria

Permasalahan tumpang tindih hak atas tanah menjadi sumber konflik agraria yang terus membesar di Indonesia. Dalam banyak kasus, akar permasalahannya bukan hanya pada siapa yang mengklaim lahan, tetapi pada tumpang tindih regulasi, lemahnya pemetaan partisipatif, dan tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan cepat.

4.1. Konflik Antara Hak Adat, Guna Usaha, dan Hak Milik

Banyak wilayah adat yang selama berabad-abad dikelola oleh komunitas lokal justru digusur karena dianggap bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan besar. Ketidakhadiran peta partisipatif atau pengakuan formal terhadap wilayah adat menyebabkan lahan yang seharusnya dikuasai masyarakat justru berubah status menjadi kawasan industri, perkebunan sawit, atau pertambangan.

Konflik ini paling sering terjadi di wilayah Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Papua. Masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat atau pengakuan hukum formal kesulitan membuktikan hak mereka secara legal. Padahal, dalam praktiknya mereka telah menempati dan mengelola tanah tersebut secara turun-temurun, bahkan memiliki sistem hukum adat tersendiri.

Ketika izin HGU tumpang tindih dengan penguasaan masyarakat adat, potensi konflik meningkat. Benturan fisik, kriminalisasi warga, hingga penggusuran paksa menjadi realitas yang menyedihkan. Tanpa pengakuan terhadap tanah ulayat, konflik ini akan terus terjadi dan menjadi bom waktu sosial.

4.2. Hambatan Mediasi dan Penegakan Hukum

Secara normatif, UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 memberi wewenang kepada BPN untuk melakukan mediasi dalam penyelesaian sengketa tanah. Namun dalam praktiknya, proses mediasi ini sering dianggap tidak netral oleh pihak yang berkonflik, terutama jika BPN sebelumnya terlibat dalam penerbitan dokumen yang menjadi sumber konflik.

Banyak warga akhirnya membawa kasus ke pengadilan, meski prosesnya panjang dan mahal. Rata-rata penyelesaian sengketa tanah melalui litigasi memakan waktu antara 5-7 tahun. Proses ini tidak hanya menguras energi dan biaya, tetapi juga memperparah konflik horizontal di masyarakat.

Minimnya pendampingan hukum bagi masyarakat, terutama di wilayah pedesaan dan adat, membuat posisi mereka lemah. LSM agraria dan klinik hukum kampus menjadi harapan terakhir bagi banyak warga dalam mencari keadilan atas tanah yang telah mereka kuasai selama puluhan tahun.

5. Biaya Sertifikasi dan Akses Layanan

Biaya menjadi faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan program sertifikasi tanah. Meskipun pemerintah telah berupaya menyederhanakan tarif dan memberi subsidi melalui PTSL, masih banyak warga yang mengeluhkan besarnya biaya total yang harus dikeluarkan, terutama ketika berhadapan dengan praktik pungutan liar dan tidak transparannya informasi publik.

5.1. Struktur Biaya Formal dan Subsidi PTSL

Secara formal, biaya sertifikasi tanah dalam program PTSL telah ditekan seminimal mungkin. Dalam banyak kasus, biaya hanya mencakup penggandaan dokumen, materai, dan patok batas. Pemerintah bahkan menanggung sebagian biaya pengukuran. Namun di lapangan, sering kali muncul biaya tak resmi yang dibebankan oleh oknum petugas atau aparat desa, terutama untuk mempercepat antrean, memperlancar pengukuran, atau mempercepat proses penerbitan.

Skema subsidi ini juga memiliki kelemahan karena tidak berkelanjutan. Alokasi anggaran PTSL di tingkat pusat dan daerah seringkali bergantung pada ketersediaan dana APBN dan APBD. Saat terjadi pergeseran prioritas anggaran, program sertifikasi massal ini bisa tertunda atau bahkan dihentikan.

5.2. Keterjangkauan Bagi Masyarakat Miskin

Untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, biaya tambahan sekecil apapun tetap menjadi beban. Biaya transportasi menuju kantor kecamatan atau kabupaten, biaya fotokopi dokumen, hingga uang makan selama proses administrasi sangat memberatkan. Terlebih, banyak dari mereka bekerja harian dan kehilangan penghasilan saat harus bolak-balik mengurus sertifikasi.

Tanpa dukungan dari program CSR, bantuan LSM, atau skema kredit mikro, kelompok ini cenderung memilih untuk tidak ikut serta dalam program sertifikasi. Ini menciptakan lingkaran ketimpangan akses terhadap kepastian hukum atas tanah.

5.3. Jalur Pengaduan dan Pelayanan Publik

BPN sebenarnya telah menyediakan kanal pengaduan daring seperti layanan e-Pelayanan dan e-Lapor, tetapi sistem ini belum cukup responsif. Saat terjadi lonjakan pendaftaran atau ketika sistem mengalami gangguan, keluhan masyarakat tidak segera ditangani. Rata-rata waktu respons bisa mencapai lebih dari 48 jam, dan banyak warga mengaku tidak mendapat balasan sama sekali.

Minimnya informasi mengenai proses pengaduan, bahasa teknis yang membingungkan, serta ketidakpahaman masyarakat terhadap kanal digital menyebabkan tingkat partisipasi publik dalam pengawasan layanan pertanahan masih rendah. Hal ini membuka ruang bagi praktik percaloan dan pungutan liar yang terus terjadi secara sistemik.

6. Dampak Sosial-Ekonomi dari Permasalahan

Permasalahan dalam proses sertifikasi tanah tidak hanya berdampak pada tataran administratif dan teknis, tetapi juga berimbas langsung pada dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Sertifikasi tanah yang lambat, tidak merata, dan penuh konflik memperlemah struktur ekonomi lokal dan nasional, serta memperbesar ketimpangan sosial antarkelompok dan antarwilayah.

6.1. Menurunnya Minat Investasi

Ketidakpastian status hukum lahan adalah salah satu hambatan utama dalam iklim investasi di Indonesia. Banyak pengembang, baik dalam negeri maupun asing, menahan rencana ekspansi atau pembangunan karena kesulitan memperoleh lahan bersertifikat. Sektor properti, perkebunan, dan infrastruktur adalah yang paling terdampak. Misalnya, investor yang hendak membangun kawasan industri di daerah kabupaten sering kali dihadapkan pada sengketa lahan, sertifikat ganda, atau klaim masyarakat lokal atas tanah adat.

Menurut data BKPM, lebih dari 30% rencana investasi real estat dan pertanian terhambat akibat status tanah yang belum jelas. Ketika proses pembebasan lahan terhambat, maka efek dominonya menjalar ke aspek lain: penyerapan tenaga kerja tertunda, aliran modal tidak bergerak, dan roda ekonomi lokal stagnan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan daya saing Indonesia di mata investor global, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain yang telah menerapkan digitalisasi pertanahan secara lebih agresif.

6.2. Kerentanan Kelompok Marginal

Kelompok marginal, seperti perempuan, masyarakat adat, dan keluarga miskin, sering kali menjadi korban paling rentan dalam proses sertifikasi tanah. Dalam banyak kasus, sertifikat hanya mencantumkan nama kepala keluarga laki-laki, tanpa mencantumkan hak milik bersama bagi pasangan atau anak perempuan. Hal ini bukan hanya mencerminkan bias gender dalam kebijakan pertanahan, tetapi juga mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan hak atas tanah jika terjadi perceraian, kematian suami, atau konflik keluarga.

Demikian pula dengan masyarakat adat. Tanpa pengakuan resmi terhadap tanah ulayat atau wilayah kelola adat, mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan tanah dari ekspansi perusahaan, proyek negara, atau klaim individu luar. Akibatnya, kelompok ini berisiko kehilangan sumber mata pencaharian, identitas budaya, dan akses terhadap sumber daya alam yang menjadi bagian dari hidup mereka.

6.3. Hambatan Pembangunan Infrastruktur

Salah satu prasyarat pembangunan infrastruktur publik adalah kejelasan status lahan. Ketika sertifikasi belum selesai atau terjadi tumpang tindih klaim, proyek strategis nasional seperti jalan tol, bendungan, bandara, hingga jaringan listrik dan sanitasi terhambat. Proses pembebasan lahan menjadi panjang dan penuh negosiasi. Hal ini berdampak langsung pada keterlambatan pembangunan serta pembengkakan anggaran negara.

Menurut Kementerian PUPR, rata-rata keterlambatan proyek infrastruktur akibat persoalan pertanahan mencapai 12 hingga 18 bulan. Ini menyebabkan proyek yang seharusnya selesai dalam 2 tahun molor menjadi 3-4 tahun, dan biaya membengkak hingga puluhan miliar rupiah. Di sisi lain, masyarakat yang menanti akses jalan, air bersih, atau listrik pun harus menunggu lebih lama. Jadi, lambannya sertifikasi tanah bukan hanya masalah teknis, tetapi juga berdampak pada kualitas hidup masyarakat secara luas.

7. Inovasi dan Teknologi untuk Mempercepat Sertifikasi

Teknologi menawarkan solusi nyata untuk mengatasi sebagian besar persoalan dalam proses sertifikasi tanah, baik dari segi kecepatan, transparansi, maupun akurasi. Inovasi digital dapat memangkas waktu, meminimalkan biaya, serta memperkecil potensi manipulasi atau konflik di lapangan.

7.1. Drone, LiDAR, dan Remote Sensing

Teknologi drone dan LiDAR (Light Detection and Ranging) telah terbukti mampu mempercepat proses pemetaan dengan akurasi tinggi. LiDAR dapat memetakan kontur tanah hingga ketelitian 5-10 cm, bahkan di medan sulit seperti pegunungan atau hutan. Di sejumlah proyek percontohan di Bali dan Jawa Barat, pemanfaatan teknologi ini mampu memangkas durasi survei lapangan dari 2 minggu menjadi 2-3 hari, serta mengurangi biaya operasional hingga 30%.

Remote sensing berbasis citra satelit juga membantu dalam validasi batas alam, identifikasi penggunaan lahan, serta penentuan zonasi yang konsisten. Namun, adopsi teknologi ini secara nasional masih menghadapi kendala seperti mahalnya peralatan, terbatasnya SDM teknis, dan belum adanya regulasi teknis standar yang wajib digunakan di seluruh kantor BPN.

7.2. Aplikasi Mobile

Aplikasi “Tanahku” dan berbagai platform digital lain yang dikembangkan BPN merupakan langkah strategis untuk mempermudah akses masyarakat dalam mendaftarkan tanah. Melalui aplikasi ini, masyarakat bisa mengunggah dokumen dasar, mengecek status lahan, menjadwalkan pengukuran, hingga mendapatkan notifikasi perkembangan berkas.

Namun, agar aplikasi ini benar-benar efektif, perlu dilakukan peningkatan user interface, penerjemahan ke bahasa lokal, serta penyediaan fitur offline yang tetap dapat digunakan di daerah dengan sinyal internet rendah. Sosialisasi dan pelatihan juga harus digencarkan agar masyarakat desa, kelompok usia lanjut, dan pengguna awam teknologi bisa memanfaatkannya secara maksimal.

7.3. Blockchain

Teknologi blockchain menawarkan solusi untuk integritas data sertifikasi tanah. Dengan sistem blockchain permissioned, setiap tahap validasi-mulai dari pengajuan, verifikasi, hingga penerbitan sertifikat-tercatat dalam sistem yang tidak dapat diubah tanpa jejak digital. Ini memperkecil potensi pemalsuan, manipulasi, atau penerbitan ganda oleh oknum tertentu.

Beberapa negara seperti Georgia dan Swedia telah menerapkan teknologi blockchain untuk sistem pertanahan secara nasional, dengan hasil yang menjanjikan. Di Indonesia, proyek percontohan di Yogyakarta dan Bandung menunjukkan potensi besar dari sistem ini. Namun, untuk diadopsi secara luas, dibutuhkan payung hukum yang kuat, infrastruktur digital nasional yang stabil, serta integrasi dengan sistem lain seperti SIGA dan One Map Policy.

8. Peran Pemerintah, Lembaga, dan Masyarakat

Percepatan dan pemerataan sertifikasi tanah bukan hanya tanggung jawab BPN semata. Diperlukan keterlibatan aktif lintas sektor-pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, swasta, masyarakat adat, dan warga sipil-untuk membangun ekosistem sertifikasi tanah yang efisien, adil, dan berkelanjutan.

8.1. Reformasi Regulasi

Kerangka hukum yang ada saat ini, seperti UU No. 5/1960 tentang UUPA dan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, sudah saatnya direvisi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan digitalisasi dan pengakuan hak adat. Tumpang tindih kewenangan antara BPN, Dinas Tata Ruang, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kementerian lainnya harus diakhiri melalui pembentukan integrasi layanan satu pintu (single-window service) yang memungkinkan proses sertifikasi berlangsung cepat dan transparan.

Selain itu, aturan teknis seperti standar pengukuran, syarat dokumen, hingga mekanisme mediasi agraria harus disusun secara adaptif dan responsif terhadap kebutuhan lokal, tanpa mengorbankan kepastian hukum.

8.2. Peningkatan SDM dan Infrastruktur

Modernisasi sistem pertanahan harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Setiap kantor pertanahan di daerah harus memiliki tenaga ahli di bidang pengukuran, GIS, hukum agraria, dan layanan publik. Pelatihan berkala, sertifikasi profesi, serta insentif berbasis kinerja dapat meningkatkan profesionalisme dan mengurangi praktik koruptif.

Di sisi lain, infrastruktur digital juga harus diperkuat. Pembangunan jaringan internet cepat, penyediaan server lokal yang andal, serta pengadaan alat ukur digital harus masuk dalam prioritas anggaran pemerintah pusat dan daerah.

8.3. Edukasi dan Pemberdayaan Komunitas Lokal

Masyarakat harus menjadi aktor utama dalam proses sertifikasi tanah. Edukasi publik tentang pentingnya legalitas lahan, hak perempuan atas tanah, dan mekanisme mediasi harus disampaikan melalui berbagai media: radio lokal, media sosial, forum desa, hingga ceramah agama.

Program pelatihan “Desa Tangguh Agraria” yang melibatkan tokoh adat, guru, dan aktivis lokal perlu diperluas agar kesadaran kolektif tumbuh dari bawah. Dengan demikian, sertifikasi tanah tidak hanya menjadi proyek birokrasi, tetapi gerakan sosial yang inklusif dan memberdayakan.

Kesimpulan

Sertifikasi tanah di Indonesia bukan sekadar kegiatan administratif, tetapi bagian dari perjuangan panjang menuju keadilan agraria, efisiensi ekonomi, dan ketahanan sosial. Permasalahan yang dihadapi-baik administratif, teknis, maupun sosial-menunjukkan betapa kompleks dan multidimensinya isu ini.

Namun demikian, dengan inovasi teknologi, reformasi regulasi, dan pemberdayaan masyarakat, jalan keluar bukanlah sesuatu yang mustahil. Pemerintah harus mempercepat integrasi digital pertanahan, memperkuat kapasitas SDM di daerah, serta membuka ruang partisipasi luas bagi warga dalam setiap tahap proses.

Hanya dengan sinergi lintas sektor dan kepemimpinan yang progresif, Indonesia bisa mencapai target sertifikasi tanah secara menyeluruh. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kepastian hukum dan investasi, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi kehidupan jutaan warga-dari petani kecil di pedalaman hingga pengusaha yang ingin berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Loading