Pendahuluan
Perpajakan adalah tulang punggung pembiayaan pembangunan negara dan pelayanan publik. Melalui pajak, pemerintah mendanai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, jaminan sosial, dan berbagai kebutuhan masyarakat. Namun, di balik angka penerimaan yang terus meningkat, muncul pertanyaan mendasar: apakah beban pajak yang dibebankan sudah mencerminkan prinsip keadilan sosial? Apakah kelompok berpenghasilan rendah dan menengah tidak terbebani berlebihan, sementara kalangan berpendapatan tinggi menikmati celah untuk menghindar? Artikel ini mengajak kita menelaah keterkaitan antara sistem perpajakan dan keadilan sosial, mengevaluasi seberapa seimbang kontribusi dan manfaat yang diterima setiap lapisan masyarakat.
1. Konsep Keadilan Sosial dalam Perpajakan
Keadilan sosial merupakan prinsip mendasar dalam sistem pemerintahan modern yang demokratis. Konsep ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan, sekaligus kewajiban yang sepadan dalam pembiayaannya. Dalam konteks perpajakan, keadilan sosial tidak sekadar soal menarik pajak dari masyarakat, melainkan memastikan bahwa beban dan manfaatnya dibagikan secara adil.
Perpajakan sebagai Instrumen Redistribusi
Salah satu fungsi utama pajak adalah sebagai alat distribusi kembali (redistribution tool). Negara menarik pajak dari mereka yang lebih mampu secara ekonomi, lalu mengalokasikannya untuk pembiayaan layanan publik, subsidi, dan jaminan sosial bagi kelompok rentan. Dengan cara ini, perpajakan tidak hanya menjadi mekanisme pembiayaan negara, tetapi juga sarana menyeimbangkan kesenjangan ekonomi.
Horizontal Equity (Keadilan Horizontal)
Prinsip ini menuntut agar warga negara dengan kondisi ekonomi yang sama diperlakukan sama dalam perpajakan. Ini menciptakan rasa keadilan dan keteraturan, karena tidak ada diskriminasi perlakuan. Misalnya, dua pelaku UMKM dengan omzet yang serupa, meskipun dari sektor berbeda, seharusnya dibebani pajak dalam kisaran yang serupa. Keadilan horizontal penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
Vertical Equity (Keadilan Vertikal)
Vertical equity menjadi lebih kompleks namun sangat esensial. Prinsip ini menyatakan bahwa orang yang lebih mampu-dari sisi kekayaan, pendapatan, atau penghasilan-seharusnya membayar lebih besar, tidak hanya secara nominal, tetapi juga secara persentase (yaitu tarif efektif lebih tinggi). Pajak penghasilan progresif adalah implementasi paling nyata dari prinsip ini. Tarif meningkat seiring kenaikan penghasilan, sehingga sistem dapat menyerap kontribusi lebih besar dari kelompok atas untuk mendanai kebutuhan sosial masyarakat.
Di Indonesia, prinsip ini coba diterapkan melalui Undang-Undang Perpajakan, misalnya dalam struktur PPh orang pribadi yang mengenal beberapa lapisan tarif, serta pengecualian PPN pada kebutuhan pokok. Namun implementasinya masih menghadapi tantangan karena keterbatasan basis data, celah hukum, dan kepatuhan yang belum merata.
Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas
Keadilan sosial dalam perpajakan tidak hanya tentang seberapa adil pungutannya, tetapi juga bagaimana dana tersebut digunakan. Keadilan juga tercermin dalam transparansi anggaran, efektivitas belanja negara, serta akuntabilitas pengelolaan penerimaan. Masyarakat yang taat pajak berhak mengetahui bahwa kontribusinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang menyentuh kehidupan mereka.
2. Jenis Pajak dan Implikasinya bagi Keadilan Sosial
Setiap jenis pajak membawa dampak sosial dan ekonomi yang berbeda terhadap lapisan masyarakat. Untuk memastikan keadilan sosial, penting memahami bagaimana struktur dan sifat dari berbagai jenis pajak bisa menimbulkan ketimpangan atau justru menjadi alat pemerataan.
2.1 Pajak Progresif vs Pajak Proporsional
Pajak Progresif merupakan bentuk paling langsung dari prinsip keadilan vertikal. Makin tinggi penghasilan seseorang, makin besar persentase pajak yang ia tanggung. Skema ini tidak hanya adil, tetapi juga efektif untuk meredam konsentrasi kekayaan. Misalnya, tarif 35% dikenakan untuk pendapatan di atas Rp5 miliar per tahun, yang hanya dikenakan pada segelintir elite ekonomi.
Sebaliknya, pajak proporsional (flat tax), meskipun lebih sederhana dalam administrasi, tidak mampu membedakan beban antara yang mampu dan tidak mampu. Misalnya, jika semua orang membayar 10% dari penghasilan mereka tanpa memandang jumlahnya, maka mereka yang berpenghasilan rendah akan mengorbankan porsi kebutuhan pokok, sementara yang kaya tetap memiliki kelebihan daya beli yang besar. Pajak jenis ini seringkali menimbulkan ketimpangan dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.
2.2 Pajak Langsung vs Pajak Tidak Langsung
Pajak langsung, seperti PPh (Pajak Penghasilan), PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), dan BPHTB, dibayar langsung oleh orang atau badan yang bertanggung jawab secara hukum. Karena sifatnya lebih terukur dan dapat diarahkan sesuai kondisi ekonomi, pajak langsung bisa dirancang progresif dan adil. Pemerintah dapat memberikan pengurangan atau pembebasan bagi kelompok rentan melalui penghasilan tidak kena pajak (PTKP) atau tarif rendah untuk UMKM.
Sebaliknya, pajak tidak langsung, seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai), cukai rokok, dan pajak bahan bakar, dikenakan saat transaksi konsumsi. Ini berarti orang miskin dan orang kaya membayar tarif yang sama ketika membeli produk yang sama. Ini menciptakan efek regresif, karena beban pajak menjadi relatif lebih besar bagi masyarakat berpendapatan rendah. Misalnya, seorang buruh yang membayar PPN 11% atas beras atau minyak goreng menghabiskan proporsi penghasilannya lebih besar dibanding eksekutif yang membeli barang yang sama.
Untuk memperbaiki ketimpangan ini, pemerintah dapat menerapkan tarif nol atau pengurangan PPN atas barang kebutuhan dasar, serta melakukan subsidi silang dari barang mewah dan konsumtif.
2.3 Pajak Digital dan Ekonomi Platform
Ekonomi digital menghadirkan tantangan baru bagi keadilan sosial dalam perpajakan. Banyak perusahaan global seperti Google, Facebook, Amazon, hingga Netflix menghasilkan miliaran rupiah dari pengguna di Indonesia, tanpa kehadiran fisik atau kontribusi pajak yang setimpal. Hal ini menciptakan ketimpangan antara pelaku usaha lokal-yang tunduk pada sistem pajak nasional-dengan korporasi raksasa yang bisa menghindar lewat yurisdiksi pajak rendah (tax haven).
Pengenaan PPN atas layanan digital dan rencana DST (Digital Services Tax) menjadi langkah penting untuk menjawab tantangan ini. Dengan mengenakan pajak pada basis konsumsi digital, pemerintah dapat menciptakan medan bermain yang setara (level playing field), sekaligus mendapatkan tambahan penerimaan yang signifikan untuk pembiayaan sosial.
Lebih jauh, keberadaan pajak digital yang adil juga menjaga keberlanjutan pelaku UMKM digital yang tumbuh di dalam negeri, sehingga transformasi digital tidak hanya dimonopoli oleh korporasi global.
3. Evaluasi Keadilan dalam Sistem Pajak Indonesia
Penerapan prinsip keadilan sosial dalam sistem perpajakan Indonesia sudah menjadi bagian dari kerangka hukum dan kebijakan fiskal nasional. Namun dalam praktiknya, keadilan tersebut masih menghadapi banyak kendala struktural, teknis, dan politis. Evaluasi terhadap elemen-elemen utama dalam sistem perpajakan nasional menunjukkan bahwa gap keadilan masih cukup besar.
3.1 Struktur Tarif PPh Orang Pribadi
Sistem PPh Indonesia menerapkan tarif progresif dari 5% hingga 35% untuk individu, berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Secara teori, struktur ini mencerminkan prinsip keadilan vertikal. Namun, realisasinya belum maksimal karena:
- Lapisan tertinggi (35%) baru diterapkan bagi penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun, yang jumlahnya relatif kecil dalam populasi wajib pajak. Hanya sekitar 0,05% dari total WP orang pribadi yang tercatat di lapisan ini.
- Banyak individu berpenghasilan tinggi menghindari pencatatan formal, atau mengalihkan penghasilan ke entitas badan usaha dengan skema tarif lebih rendah.
- Penghasilan tidak tetap atau tidak tercatat di sektor informal dan digital juga belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem perpajakan.
Akibatnya, potensi redistribusi pendapatan melalui PPh masih jauh dari ideal.
3.2 PPN dan Beban Konsumsi
PPN 11% yang berlaku sejak 2022 merupakan pajak konsumsi yang bersifat proporsional, diterapkan sama pada setiap transaksi barang dan jasa kena pajak. Meskipun efisien dan menyumbang penerimaan besar, struktur ini berpotensi regresif, karena:
- Konsumsi merupakan komponen terbesar dari pengeluaran masyarakat miskin.
- Rumah tangga dengan pendapatan rendah mengalokasikan hingga 70-80% pendapatannya untuk konsumsi dasar-makanan, energi, transportasi.
- Tanpa pengecualian atau tarif 0% pada komoditas esensial (beras, gula, listrik rumah tangga kecil), PPN dapat menambah beban ekonomi kelompok miskin secara tidak proporsional.
Solusinya adalah perluasan negative list untuk barang dan jasa tertentu, serta pengawasan distribusi subsidi agar tidak bocor ke kelompok atas.
3.3 Pajak Daerah dan Retribusi
Kewenangan pajak daerah mencakup jenis-jenis pajak seperti pajak kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran, hingga retribusi pasar dan reklame. Meskipun penting sebagai sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), implementasinya sering menimbulkan beban berlebih bagi pelaku usaha kecil, seperti:
- Tarif retribusi pasar yang tidak memperhatikan skala usaha, menyebabkan pedagang mikro terkena beban tetap yang memberatkan.
- Pajak reklame yang rigid menekan UMKM untuk mempromosikan produknya di ruang publik.
- Kurangnya insentif atau pembebasan pajak bagi pelaku usaha awal atau informal yang baru masuk pasar.
Evaluasi kebijakan pajak daerah perlu mempertimbangkan kemampuan bayar (ability to pay) dan insentif produktifitas lokal, bukan sekadar peningkatan PAD.
3.4 Celah dan Penghindaran Pajak
Perusahaan besar dan konglomerasi kerap memanfaatkan celah hukum perpajakan seperti:
- Transfer pricing antar anak perusahaan lintas negara.
- Penggunaan tax treaty secara agresif (treaty shopping).
- Penyimpanan aset dan pendapatan di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah (offshore shelter).
Meski DJP telah melakukan langkah-langkah seperti program Automatic Exchange of Information (AEOI) dan pembentukan unit audit khusus, praktik ini masih sulit diberantas karena keterbatasan data lintas negara dan kekuatan lobi korporasi besar.
4. Tantangan Mewujudkan Keadilan Sosial melalui Perpajakan
Untuk menjadikan perpajakan sebagai pilar keadilan sosial, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan struktural dan teknis. Beberapa kendala utama yang menghambat implementasi keadilan dalam sistem perpajakan antara lain:
4.1 Data dan Kapasitas Administrasi
Keberhasilan sistem pajak yang adil sangat bergantung pada basis data wajib pajak yang kuat dan lengkap. Namun, Indonesia masih menghadapi:
- Rendahnya jumlah NPWP aktif, terutama dari pelaku usaha informal dan sektor digital.
- Ketidakterhubungan data lintas lembaga (dukcapil, perbankan, BPN, BPJS, platform digital) sehingga menyulitkan deteksi penghasilan sesungguhnya.
- Kurangnya SDM di lingkungan DJP yang mampu mengelola big data dan digital forensics.
Modernisasi sistem administrasi pajak, termasuk penguatan sistem e-faktur, e-filing, e-billing, dan integrasi data lintas K/L, menjadi syarat mutlak untuk meminimalkan penghindaran pajak.
4.2 Rendahnya Kepatuhan Sukarela
Kepatuhan pajak tidak hanya soal pengawasan, tetapi juga soal kesadaran dan persepsi publik. Di Indonesia, masih berkembang pandangan bahwa pajak adalah beban atau kewajiban yang menguntungkan negara, bukan warga.
- Edukasi pajak belum menyentuh pelajar, mahasiswa, atau pekerja informal secara luas.
- Sosialisasi manfaat pajak masih lemah: publik jarang melihat hubungan langsung antara pembayaran pajak dan kualitas layanan publik.
- Rendahnya insentif kepatuhan, misalnya penghargaan, pengakuan, atau label khusus bagi wajib pajak yang taat.
4.3 Perpajakan Perusahaan Multinasional
Sistem perpajakan konvensional yang berbasis kehadiran fisik kesulitan menjangkau perusahaan digital multinasional seperti Google, Amazon, Meta, dan Netflix. Tanpa kerangka global yang harmonis, negara berkembang seperti Indonesia akan terus mengalami kebocoran potensi pajak.
OECD/G20 Inclusive Framework (Two-Pillar Solution) diharapkan bisa menjadi jalan keluar, tapi implementasinya masih belum menyeluruh dan membutuhkan komitmen politik yang kuat.
4.4 Dampak Sosial Ekonomi Kebijakan Pajak
Setiap perubahan kebijakan pajak, terutama kenaikan tarif, harus mempertimbangkan efek sosial ekonomi, terutama:
- Risiko inflasi akibat kenaikan PPN.
- Potensi berkurangnya konsumsi rumah tangga miskin.
- Beban tambahan bagi UMKM yang baru bangkit pascapandemi.
Kebijakan pajak harus dikawal dengan jaring pengaman sosial seperti BLT, subsidi pangan, atau skema pensiun universal agar tidak mencederai keadilan sosial.
4.5 Politik dan Persepsi Publik
Reformasi perpajakan, khususnya yang menargetkan lapisan atas atau korporasi, sering mendapat resistensi politik. Isu “anti-investasi”, “terlalu membebani pengusaha”, atau “pajak represif” menjadi narasi yang sering digunakan.
Diperlukan kepemimpinan politik yang kuat, komunikasi publik yang transparan, dan dialog inklusif dengan pelaku usaha agar keadilan fiskal bisa diterima sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.
5. Strategi Memperkuat Keadilan Sosial dalam Perpajakan
Mewujudkan sistem pajak yang adil dan berdaya redistribusi menuntut perubahan kebijakan yang bukan hanya teknis, tetapi juga bersifat sistemik. Di bawah ini adalah strategi-strategi yang dapat diterapkan untuk memperkuat prinsip keadilan sosial melalui reformasi perpajakan di Indonesia:
5.1 Penguatan Tarif Progresif
Struktur tarif progresif adalah instrumen paling eksplisit dalam mewujudkan keadilan vertikal. Namun, saat ini hanya ada lima lapisan tarif PPh Orang Pribadi, dengan tarif tertinggi 35% dikenakan pada penghasilan tahunan di atas Rp5 miliar. Strategi penguatan mencakup:
- Menambah lapisan tarif tambahan, misalnya 40% untuk penghasilan > Rp10 miliar, agar redistribusi lebih efektif dari kelompok ultrakaya.
- Menyesuaikan batas notional tiap lapisan agar mencerminkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, sekaligus memperluas cakupan individu kaya dalam sistem pajak.
- Memperketat pelaporan penghasilan non-upah seperti capital gain, dividen, dan royalti, yang sering luput atau dilaporkan dengan nilai minimum.
Langkah ini harus diiringi dengan edukasi publik agar tidak muncul persepsi bahwa tarif tinggi adalah hukuman atas keberhasilan, tetapi sebagai kontribusi pada keadilan sosial.
5.2 Pengecualian dan Tarif Khusus PPN
PPN adalah sumber utama penerimaan negara, namun berisiko regresif. Karena itu, strategi keadilan menuntut perlakuan khusus terhadap komoditas yang menjadi kebutuhan pokok. Beberapa langkah antara lain:
- Menghapus PPN atas barang dan jasa esensial: beras, telur, listrik rumah tangga sederhana, layanan kesehatan dasar, dan pendidikan formal.
- Menerapkan tarif PPN lebih rendah (misal 5%) untuk barang kebutuhan rumah tangga berpendapatan rendah-dapat dikategorikan berdasarkan klasifikasi barang dan nilai transaksi.
- Menerapkan sistem verifikasi terhadap pedagang atau konsumen akhir melalui program subsidi PPN, misalnya dengan kartu identitas elektronik yang terintegrasi dengan status sosial-ekonomi (DTKS).
Dengan ini, sistem perpajakan tetap produktif, namun tidak membebani secara tidak adil kelompok rentan.
5.3 Digital Services Tax dan PPN Digital
Untuk menciptakan keadilan antara pelaku usaha lokal dan global, pemerintah perlu melanjutkan langkah-langkah berikut:
- DST (Digital Services Tax): dikenakan atas revenue global perusahaan digital yang mengakses pasar Indonesia namun tidak memiliki entitas fisik. Besaran DST dapat diatur secara proporsional terhadap omzet di yurisdiksi Indonesia.
- Pemungutan PPN Digital secara aktif dari platform digital, termasuk iklan online, langganan streaming, cloud computing, dan software berlangganan.
- Penguatan aturan pemajakan transaksi lintas negara (Permanent Establishment digital) agar tidak bergantung hanya pada kehadiran fisik sebagai dasar pungutan.
Keadilan fiskal tidak hanya untuk rakyat, tetapi juga antar pelaku usaha-baik lokal maupun multinasional.
5.4 Pemutakhiran Data dan Sistem
Modernisasi sistem pajak sangat krusial untuk menjamin pengenaan pajak yang adil dan akurat. Strategi ini mencakup:
- Integrasi sistem DJP dengan bank, fintech, marketplace, dan penyedia jasa digital, agar transaksi dapat dipantau secara real-time.
- Pengembangan Risk-Based Audit berbasis Artificial Intelligence, yang dapat mengidentifikasi potensi penghindaran pajak berdasarkan pola transaksi dan laporan historis.
- Pemanfaatan e-KTP dan NIK sebagai NPWP tunggal, untuk mempermudah pelacakan aktivitas ekonomi individu lintas platform.
Dengan data yang akurat dan menyeluruh, kebijakan pajak dapat diarahkan secara presisi.
5.5 Edukasi dan Insentif Kepatuhan
Meningkatkan kepatuhan wajib pajak tidak cukup hanya dengan sanksi, tetapi harus dibarengi dengan pendekatan edukatif dan apresiatif:
- Kampanye “Pajak untuk Kita” yang menjelaskan peran vital pajak dalam membiayai sekolah, jalan, rumah sakit, subsidi UMKM, dan lain-lain.
- Pemberian insentif non-fiskal seperti sertifikat “UMKM Taat Pajak” yang bisa digunakan untuk promosi usaha, pemeringkatan e-commerce, atau akses pinjaman dengan bunga rendah.
- Pengenalan pajak sejak dini melalui kurikulum sekolah dan pendidikan tinggi vokasi, agar pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, tetapi sebagai bentuk kontribusi terhadap negara.
6. Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerintah dan Legislator
Untuk menjamin bahwa perpajakan menjadi pendorong keadilan sosial, sejumlah kebijakan perlu dirumuskan dan diimplementasikan secara progresif dan inklusif. Rekomendasi kebijakan berikut dapat menjadi kerangka bagi reformasi fiskal jangka menengah dan panjang:
6.1 Reformasi Tarif Pajak Orang Pribadi dan Badan
- Menambahkan lapisan tarif progresif untuk kelompok berpenghasilan ultra-tinggi, sekaligus merevisi batas minimum kena pajak agar lebih inklusif.
- Meninjau ulang tarif pajak badan, dengan pendekatan insentif berdasarkan kontribusi sosial (CSR, serapan tenaga kerja, pelestarian lingkungan).
6.2 Tarif PPN Progresif dan Multilevel
- Menerapkan PPN bertingkat (multi-rate VAT), dengan tarif lebih tinggi untuk barang mewah dan jasa premium.
- Memberikan pembebasan PPN atau tarif nol untuk komoditas dan layanan dasar, serta UMKM beromzet kecil.
6.3 Penerapan Pajak Digital Terintegrasi
- Menerbitkan regulasi DST nasional berbasis kerangka OECD/G20.
- Melanjutkan integrasi PPN digital dengan platform global seperti Netflix, Google, Meta, TikTok, dan Amazon.
6.4 Digitalisasi Administrasi Pajak
- Menyempurnakan sistem e-Filing, e-Billing, dan e-Faktur untuk semua segmen wajib pajak.
- Membangun dashboard kepatuhan wajib pajak berbasis NIK dan AI untuk pemantauan dan prediksi.
6.5 Harmonisasi dan Kerja Sama Internasional
- Aktif dalam forum OECD dan G20 untuk menyusun mekanisme mencegah double taxation dan kebocoran pajak global.
- Memperluas perjanjian pertukaran data (EOI) dengan yurisdiksi pajak rendah (tax havens).
6.6 Peningkatan Jaminan Sosial dan Redistribusi
- Menyusun kebijakan alokasi ulang penerimaan pajak untuk program jaminan sosial seperti pensiun universal, asuransi kesehatan dasar, dan beasiswa miskin.
- Menyusun peta jalan “fiscal justice roadmap” yang mengaitkan indikator ketimpangan dengan kebijakan pajak dan belanja negara.
Kesimpulan
Perpajakan yang adil bukan hanya tentang tarif tinggi atau rendah, melainkan tentang siapa yang membayar, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana sistem itu bekerja. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, strategi dan kebijakan yang mempertimbangkan aspek sosial, teknologi, dan globalisasi harus dijalankan bersama demi terciptanya keseimbangan fiskal yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.
Telah dibaca 8 kali , 1 views today