Pendahuluan
Banyak orang menaruh perhatian pada fenomena yang sering muncul di berita dan diskusi publik: mengapa harga barang atau jasa yang dibeli pemerintah terasa lebih mahal dibandingkan harga di pasar umum? Pertanyaan ini bukan sekadar soal rasa tidak adil; dampaknya nyata pada efisiensi anggaran publik, kemampuan pemerintah memberi layanan, dan persepsi publik tentang akuntabilitas. Memahami penyebab kenaikan harga di ranah pengadaan publik membantu masyarakat, pejabat pengadaan, dan pengawas anggaran untuk membedakan antara biaya yang wajar (mis. karena kualitas, jaminan, atau biaya kepatuhan) dan ketidakefisienan yang perlu diperbaiki.
Artikel ini mengurai faktor-faktor multidimensional yang menyebabkan perbedaan harga: regulasi pengadaan, spesifikasi teknis yang lebih tinggi, biaya transaksi dan administrasi, volume pembelian, risiko kontraktual, rantai pasokan, hingga isu tata kelola dan korupsi. Setiap bagian disusun untuk menjelaskan mekanisme, memberi contoh praktis, dan menyarankan arah perbaikan. Tujuannya bukan mencari kambing hitam, tetapi memberi gambaran menyeluruh agar solusi yang diambil bersifat tepat sasaran-mulai dari perbaikan desain tender hingga penguatan kapasitas pengelola dan transparansi. Mari kita telusuri penyebab dan langkah mitigasinya secara rinci.
1. Kerangka Regulasi dan Proses Pengadaan
Salah satu penyebab paling mendasar mengapa harga barang di pengadaan pemerintah tampak lebih mahal adalah adanya kerangka regulasi yang ketat dan berlapis. Pengadaan publik diatur untuk menjamin prinsip-prinsip seperti transparansi, persaingan sehat, akuntabilitas, efisiensi, dan pencegahan korupsi. Namun penerapan prinsip tersebut memerlukan proses administratif yang kompleks: publikasi tender, evaluasi teknis dan administratif, verifikasi dokumen, uji laba (HPS), pengumuman pemenang, pembuatan kontrak, hingga pengawasan pelaksanaan.
Setiap langkah ini menimbulkan biaya kepatuhan -bukan hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi penyedia barang/jasa. Penyedia harus menyiapkan dokumen kualifikasi, jaminan penawaran, biaya partisipasi (waktu dan tenaga), serta jaminan pelaksanaan (performance bond). Untuk vendor kecil, biaya tersebut relatif tinggi terhadap nilai kontrak sehingga mereka menambahkan margin untuk menutupi overhead administrasi. Margin ini akhirnya tercermin dalam harga penawaran.
Di sisi pemerintah, unit pengadaan memerlukan sumber daya manusia berkompeten, sistem e-procurement, dan audit internal-semua memerlukan anggaran operasional. Proses evaluasi yang terperinci juga mengambil waktu; untuk mengurangi risiko pembatalan karena kesalahan administratif, pejabat cenderung menyusun spesifikasi yang sangat mendetail dan menerapkan prosedur verifikasi ketat. Pendekatan hati-hati ini bertujuan untuk menghindari temuan audit, sanksi atau masalah hukum yang dapat berdampak reputasional terhadap pelaksana pengadaan dan pimpinan. Risiko tersebut diterjemahkan ke dalam biaya premi risiko yang diminta vendor.
Selain itu, aturan pengadaan sering mensyaratkan penggunaan produk bersertifikat, standard tertentu, atau compliance terhadap syarat lingkungan/sosial (mis. LK3, sertifikasi SNI, ISO). Barang yang memenuhi syarat tersebut biasanya lebih mahal di pasaran dibandingkan alternatif tanpa sertifikasi. Peraturan juga membatasi cara pengadaan (mis. tender terbuka, pelelangan elektronik), sehingga fleksibilitas untuk melakukan pembelian spot di pasar yang lebih murah menjadi terbatas.
Terakhir, proses pengadaan publik yang transparan dan bisa diaudit mengharuskan dokumentasi lengkap dan mekanisme persetujuan berjenjang. Waktu untuk menyiapkan dan memverifikasi dokumen ini memanjang, menambah biaya kesempatan (opportunity cost) bagi vendor. Ketika anggaran memasukkan faktor-faktor ini, harga akhir yang muncul di harga kontrak akan lebih tinggi daripada harga satuan di pasar retail yang tidak memerlukan proses serupa.
Intinya: regulasi pengadaan menghadirkan biaya kepatuhan yang nyata. Tujuan regulasi adalah baik-mencegah penyalahgunaan dan memastikan kualitas-tetapi tanpa desain proses yang efisien, biaya kepatuhan dapat mendorong harga yang terasa “lebih mahal” oleh publik. Solusi harus memadukan kepatuhan dan efisiensi proses: standar risiko proporsional, digitalisasi untuk memangkas overhead, dan penilaian dampak regulasi pada biaya pengadaan.
2. Spesifikasi Teknis, Jaminan Kualitas, dan Nilai Hidup Pakai
Seringkali perbedaan harga yang mencolok muncul karena spesifikasi yang diminta pemerintah berbeda dari produk yang beredar di pasar umum. Pemerintah cenderung menetapkan spesifikasi teknis, jaminan mutu, dan persyaratan purna jual yang lebih tinggi-alasan utamanya adalah kebutuhan akan keandalan, keselamatan, dan kontinuitas layanan publik.
Contoh konkret: tender pengadaan kendaraan dinas, peralatan medis, atau sistem IT pemerintahan biasanya mensyaratkan jaminan minimal dua hingga lima tahun, suku cadang tersedia selama masa tertentu, training untuk operator, dan service level agreement (SLA) yang mengharuskan perbaikan dalam waktu singkat. Penyedia yang mampu menawarkan paket lengkap tersebut harus menanggung biaya logistik, garansi, dan dukungan teknis, sehingga harga penawaran naik untuk mengkompensasi biaya tersebut.
Selain itu, pemerintah mengutamakan produk dengan standar kelembagaan-misalnya SNI, sertifikat halal atau ISO-atau komponen khusus yang memenuhi persyaratan keselamatan (mis. kelistrikan rumah sakit). Produk bersertifikat sering melewati proses uji yang berbiaya dan memerlukan kontrol kualitas lebih ketat pada manufaktur. Biaya sertifikasi inilah yang dibagi ke harga akhir.
Pendekatan nilai hidup pakai (life-cycle cost) juga sering digunakan dalam pengadaan publik: bukan hanya biaya pembelian (initial cost) yang dipertimbangkan, tetapi juga biaya operasi, pemeliharaan, konsumsi energi, dan penggantian suku cadang sepanjang umur aset. Sebuah AC energy-efficient berbiaya lebih tinggi saat pembelian tetapi lebih hemat biaya listrik dan perawatan. Jika panitia menggunakan life-cycle analysis, maka pilihan produk yang lebih “mahal” di awal bisa menjadi lebih ekonomis dalam jangka menengah. Namun jika dalam perbandingan publik orang melihat harga awal, kesan “lebih mahal” tetap muncul.
Perlu juga dicatat bahwa spesifikasi yang sangat detail-untuk menghindari ambiguitas dalam evaluasi-kadang memaksa vendor menawarkan model yang relatif terbatas pilihan pasarnya. Kurangnya kompetisi untuk spesifikasi tinggi ini juga menaikkan harga. Oleh karena itu desain spesifikasi harus seimbang: cukup ketat untuk memenuhi fungsi dan keselamatan, namun cukup fleksibel untuk tidak mematikan persaingan.
Pada akhirnya, perbedaan harga sering mencerminkan premi untuk kualitas, jaminan layanan, dan total cost of ownership yang lebih baik. Upaya komunikasi yang baik tentang alasan spesifikasi, serta penggunaan evaluasi berdasarkan life-cycle cost, dapat membantu publik memahami mengapa pilihan harga di pengadaan pemerintah seringkali tampak lebih tinggi dibandingkan harga pasar ritel.
3. Biaya Transaksi, Pengadaan Kecil, dan Ekonomi Skala
Biaya transaksi dan skala pembelian adalah faktor penting yang menjelaskan perbedaan harga antara pemerintah dan pasar umum. Ekonomi skala bekerja di banyak sektor: pembelian besar-besaran umumnya menekan harga per unit, sementara pembelian kecil atau terpecah-pecah cenderung mahal. Ironisnya, pemerintah sering melakukan pembelian dalam bentuk paket kecil yang tersebar-misalnya peralatan kantor untuk banyak unit atau proyek kecil di berbagai kecamatan-sehingga unit biaya meningkat.
Untuk menjelaskan, lihat beberapa aspek biaya transaksi:
- Pengadaan yang terfragmentasi: bila otoritas terdesentralisasi membeli per unit atau per satuan kecil, vendor tidak mendapatkan volume yang cukup untuk menurunkan harga produksi atau logistik. Biaya tetap (transport, tenaga kerja, setup) menjadi proporsi signifikan dari harga unit.
- Frekuensi tender kecil: proses tender untuk nilai kecil masih memerlukan persiapan dokumen, pemeriksaan, dan proses administrasi yang hampir mirip tender besar. Biaya administrasi per rupiah yang dibelanjakan menjadi lebih tinggi dibandingkan tender besar.
- Distribusi dan logistik: pemerintah harus mengirim barang ke banyak titik layanan (sekolah, puskesmas) yang secara geografis tersebar. Pengaturan logistik multi-drop meningkatkan biaya dibandingkan distribusi retail pusat.
- Vendor MSME dan marginal cost: banyak pengadaan lokal melibatkan vendor mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang biaya marginalnya lebih tinggi karena kapasitas produksi terbatas dan keterbatasan bargaining power dengan pemasok bahan baku.
- Storage & inventory management: pembelian yang tidak terencana menyebabkan kebutuhan gudang untuk menyimpan stok-biaya gudang dan risiko kadaluarsa ditransfer ke harga penawaran.
Pemerintah dapat mengatasi masalah ini melalui beberapa pendekatan: konsolidasi pembelian antar-unit (centralized procurement) untuk mencapai volume ekonomi, framework agreements atau katalog e-catalog yang menetapkan harga satuan untuk periode tertentu, dan pembelian kolektif (aggregated purchasing) antar daerah. Model e-catalog di beberapa negara/provinsi berhasil menurunkan harga karena penyedia bersaing pada skala yang lebih besar dan proses pembelian lebih terstandarisasi.
Namun konsolidasi juga memiliki tantangan: kebutuhan spesifik lokal mungkin berbeda, dan birokrasi koordinasi antar-unit menambah kompleksitas. Solusi yang efektif sering berbentuk hybrid: produk-produk generik dikonsolidasikan melalui katalog pusat, sementara item khusus diadakan oleh unit teknis lokal.
Ringkasnya, pembelian kecil dan biaya transaksi tinggi menaikkan harga unit yang dibeli pemerintah. Perencanaan pembelian strategis, konsolidasi volume, dan mekanisme kontrak jangka menengah dapat memangkas biaya dan mendekatkan harga pengadaan publik ke level pasar.
4. Rantai Pasokan, Keterbatasan Pemasok, dan Geografi
Rantai pasokan (supply chain) berdampak besar pada harga barang di pengadaan publik. Di banyak kasus, terutama untuk barang teknis, spesifik, atau di daerah terpencil, terdapat keterbatasan jumlah pemasok yang mampu memenuhi syarat. Kurangnya kompetisi ini, serta faktor geografi, dapat menyebabkan harga menjadi lebih tinggi dibandingkan pasar urban yang terhubung erat.
Beberapa faktor supply chain yang meningkatkan harga:
- Keterbatasan pemasok lokal: barang dengan spesifikasi tertentu atau layanan purna jual yang ketat memerlukan pemasok bersertifikat atau berpengalaman. Jika hanya beberapa penyedia memenuhi kriteria, daya tawar mereka naik. Pasar tidak lagi kompetitif sehingga harga lebih tinggi.
- Import dan nilai tukar: banyak barang khusus (peralatan medis, komponen teknologi) diimpor. Fluktuasi nilai tukar, biaya bea masuk, dan biaya import handling menambah margin yang harus ditanggung anggaran pemerintah.
- Ketersediaan suku cadang: kontrak pengadaan publik sering menuntut ketersediaan suku cadang selama beberapa tahun. Vendor yang menjamin persediaan ini harus memelihara stok atau mengatur supply chain yang andal-kedua opsi menambah biaya.
- Biaya logistik ke daerah terpencil: daerah pulau, pegunungan, atau perbatasan memerlukan ongkos kirim jauh lebih tinggi, termasuk biaya pengiriman laut/udara. Risiko keterlambatan juga meningkat sehingga vendor menuntut kompensasi risiko.
- Skala produksi nasional: untuk beberapa produk, industri nasional tidak memiliki kapasitas produksi besar sehingga impor diperlukan atau produsen lokal menjual pada harga tinggi akibat skala ekonomi rendah.
Geografi juga mempengaruhi struktur pasar lokal. Di kota-kota besar, banyak distributor dan persaingan harga ketat; di daerah kecil, adanya monopoli lokal atau oligopoli alami karena biaya masuk tinggi. Pemerintah daerah yang harus mematuhi spesifikasi tertentu jadi “pembeli tahan” (inelastic demand) bagi pemasok lokal-situasi ini meningkatkan leverage pemasok.
Untuk merespons, beberapa strategi supply chain dapat diterapkan: local content development (membangun kapasitas produsen lokal melalui insentif), perjanjian pembelian jangka panjang (offtake agreements) yang memberi kepastian pasar bagi pemasok sehingga mereka dapat menurunkan harga, serta penggabungan kebutuhan antar-wilayah untuk menarik pemasok besar. Transparansi data pengadaan juga dapat menstimulasi pemasok baru masuk pasar jika ada kepastian volume.
Akhirnya, memahami rantai pasokan dan karakter pasar adalah kunci untuk menjelaskan mengapa harga di pengadaan pemerintah lebih tinggi di beberapa konteks. Intervensi kebijakan supply-side-pengembangan industri lokal, pengurangan hambatan logistik, dan pembiayaan untuk kapasitas pemasok-bisa menurunkan harga jangka menengah.
5. Premi Risiko, Jaminan dan Lifecycle Cost
Pembelian publik cenderung memerlukan penanggungjawaban yang tinggi terhadap kualitas, ketepatan waktu, dan keberlanjutan layanan. Karena itu, unsur risiko dan jaminan menjadi faktor biaya utama yang biasanya kurang terlihat oleh publik saat membandingkan harga.
Premi risiko di sini mencakup sejumlah elemen:
- Asuransi dan bonding: proyek publik, khususnya konstruksi, biasanya mensyaratkan performance bond, advance payment guarantees, atau insurances (CAR – Contractors All Risks). Biaya asuransi dan jaminan ini ditambahkan ke harga penawaran.
- Risiko penundaan dan liquidated damages: vendor menghitung kemungkinan keterlambatan, perubahan scope, atau hambatan luar biasa. Untuk menutup kemungkinan kerugian, mereka menambahkan margin pada harga.
- Sanksi administrasi dan reputasi: kegagalan kontrak pemerintah dapat berakibat pada blacklist atau sanksi, sehingga vendor memasukkan premi untuk reputasi dan risiko legal.
- Biaya pemeliharaan & dukungan purna jual: garansi berkepanjangan, availability of spare parts, dan SLA memerlukan sistem dukungan, teknisi, dan logistik yang harus dibiayai. Ini menyebabkan total cost yang lebih tinggi dibanding harga beli awal di pasar.
Dari perspektif life-cycle cost, pembelian yang tampak mahal pada awalnya bisa lebih ekonomis bila memperhitungkan biaya operasional dan pemeliharaan sepanjang umur aset. Namun penonton publik sering membandingkan hanya harga awal. Contoh: peralatan hemat energi atau mesin industri yang mahal di pembelian tetapi mengurangi biaya listrik dan pemeliharaan jangka panjang. Pengadaan yang mengadopsi evaluasi life-cycle cenderung memilih opsi yang menguntungkan total cost meskipun initial cost lebih tinggi.
Untuk menyeimbangkan premi risiko, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah: menyediakan skema asuransi kelola bersama, membantu vendor mendapatkan fasilitas bonding melalui bank lokal (garansi negara), atau menerapkan pembayaran berbasis hasil (performance-based payments) yang menurunkan kebutuhan modal kerja awal vendor. Selain itu, mekanisme sharing risk-mis. cost-plus arrangements atau risk-sharing clauses yang jelas-membuat harga lebih adil dan mengurangi premi overcautious.
Secara ringkas, premi risiko dan pertimbangan lifecycle sangat nyata dalam pengadaan publik. Mengartikulasikan dan mengomunikasikan alasan di balik komponen biaya ini penting untuk membangun pemahaman publik serta merancang kebijakan yang mengurangi premi tanpa mengorbankan kualitas dan akuntabilitas.
6. Mekanisme Harga dalam Tender
Teori ekonomi pasar menyatakan bahwa harga ditentukan oleh interaksi antara penawaran dan permintaan dalam konteks kompetisi. Namun dalam praktik pengadaan publik, mekanisme ini bisa terganggu-baik oleh kurangnya kompetisi yang sehat maupun oleh perilaku terlarang seperti kolusi. Kedua kondisi ini memiliki efek langsung pada harga.
Kurangnya kompetisi dapat terjadi karena:
- Spesifikasi yang sangat khusus membatasi jumlah vendor yang memenuhi syarat.
- Syarat kualifikasi finansial atau teknis yang tinggi mencegah UMKM ikut tender.
- Proses tender yang berbelit membuat partisipasi vendor bergantung pada kapasitas administratif sehingga hanya pemain besar yang bertahan.
Ketika kompetisi kurang, vendor memiliki leverage untuk menaikkan harga. Untuk mengatasi, panitia dapat merancang tender modular sehingga lebih banyak vendor kecil bisa berpartisipasi atau menerapkan prosedur two-stage tender untuk mengakomodir penyempurnaan technical requirements.
Kolusi (bid rigging) adalah praktik ilegal di mana beberapa penyedia bersekongkol untuk mengatur hasil tender (mis. pembagian pasar, penetapan pemenang bergilir). Kolusi menyebabkan harga tender menjadi jauh lebih tinggi daripada kompetitif. Indikator kolusi meliputi: pola pemenang berulang dengan harga yang relatif tinggi, penawar yang sama bergantian menang, atau harga penawaran yang sangat berdekatan.
Pencegahan kolusi memerlukan penguatan pengawasan dan desain tender yang mengurangi peluang manipulasi: anonymous bidding melalui e-procurement, analisis data tenders historis untuk mendeteksi pola anomali, pencegahan komunikasi antar-peserta tender, dan pemberian insentif pelaporan whistleblower. Audit pasar dan perbandingan harga dengan referensi (e-catalog, HPS yang realistis) juga membantu mendeteksi markup yang tidak wajar.
Kompetisi yang sehat mendorong inovasi harga dan kualitas. Implementasi tender terbuka yang memfasilitasi banyak peserta, penggunaan metode evaluasi berdasarkan nilai (quality- and cost-based evaluation), dan dukungan untuk UMKM (mis. set-aside contracts, simplifying prequalification) menciptakan lingkungan kompetitif yang menekan harga.
Dalam banyak kasus, mahalnya harga pengadaan merupakan hasil kombinasi: biaya kepatuhan dan spesifikasi tinggi, ditambah pasar yang kurang kompetitif atau praktik manipulatif. Kunci perbaikan adalah desain proses yang menyeimbangkan akses vendor dengan kebutuhan kualitas, serta pengawasan aktif untuk mencegah praktik anti-persaingan.
7. Transparansi, Tata Kelola, dan Potensi Kebocoran
Isu yang paling sensitif dan sering disebut publik ketika membandingkan harga pengadaan pemerintah adalah kemungkinan kebocoran anggaran akibat inefisiensi, praktik nepotisme, atau korupsi. Walaupun tidak semua pengadaan mahal disebabkan korupsi, kurangnya transparansi dan tata kelola yang lemah memang membuka celah bagi pembengkakan biaya dan penyalahgunaan.
Hubungan transparansi-harga bersifat kompleks: pengadaan yang transparan, dengan akses data dan publikasi tender serta kontrak, meningkatkan kemampuan masyarakat dan pesaing untuk menilai kewajaran harga. Ketika publikasi lengkap ada-spesifikasi, HPS, daftar pemenang-analisis perbandingan bisa dilakukan, menurunkan peluang markup tersembunyi. Sebaliknya, praktik opak (dokumen tidak lengkap, revisi kontrak berkala, atau change orders tanpa alasan kuat) menimbulkan ruang kreatif bagi biaya tambahan.
Tata kelola yang baik melibatkan mekanisme checks-and-balances: pemisahan tugas (segregation of duties), audit internal dan eksternal berkala, peran pengawas independen (inspektorat), serta saluran pengaduan (whistleblowing) yang efektif. Di banyak kasus, perbaikan tata kelola-mis. e-procurement dengan jejak audit (audit trail), public e-catalog, dan platform pengaduan-terbukti menurunkan harga dan meningkatkan kualitas layanan.
Namun memperbaiki tata kelola bukan semudah menekan tombol. Ada resistensi politik dan budaya institusi yang perlu diubah melalui pelatihan, sanksi yang konsisten terhadap pelanggaran, dan penguatan independensi aparat pengawas. Transparansi juga harus diikuti dengan literasi publik agar data yang dipublikasikan dapat diinterpretasikan dan digunakan oleh masyarakat sipil, media, dan asosiasi bisnis untuk melakukan kontrol sosial.
Keterkaitan antara tata kelola dan harga menjadi jelas saat kasus-kasus audit menemukan penggelembungan harga lewat mark-up bahan, fiktifnya pekerjaan, atau kontrak tambahan tanpa dasar. Meminimalkan potensi kebocoran membutuhkan campuran teknologi (automasi proses), regulasi (sanksi tegas), dan partisipasi publik (audit sosial). Dengan demikian, mahalnya pengadaan tidak otomatis berarti korupsi, namun penguatan transparansi dan tata kelola meningkatkan probabilitas harga yang lebih wajar dan akuntabel.
8. Langkah Perbaikan: Praktik Baik untuk Menekan Harga tanpa Mengorbankan Kualitas
Mengetahui penyebab harga tinggi adalah tahap awal; yang lebih penting adalah tindakan nyata untuk menurunkannya tanpa mengorbankan kualitas, keselamatan, dan akuntabilitas. Berikut rangkaian praktik baik yang terbukti efektif di banyak yurisdiksi:
- Digitalisasi pengadaan (e-procurement): platform elektronik mempersingkat proses, mencegah manipulasi, mempublikasikan hasil tender, dan menyediakan audit trail. Fitur e-catalog dan e-purchasing memudahkan pembelian produk standar dengan harga terkendali.
- Konsolidasi pembelian dan framework agreements: mengumpulkan permintaan lintas-unit untuk produk standar menciptakan volume yang menarik penyedia besar dan menurunkan harga per unit.
- Penggunaan life-cycle costing dalam evaluasi: menilai total cost of ownership membantu memilih opsi yang lebih ekonomis jangka panjang, meski mahal di awal.
- Penyederhanaan dokumen untuk UMKM: menurunkan hambatan partisipasi bagi pelaku usaha kecil melalui persyaratan kualifikasi yang proporsional meningkatkan kompetisi dan menekan harga.
- Market sounding dan pre-bid consultations: berkomunikasi dengan pasar sebelum menyusun spesifikasi membantu menyeimbangkan persyaratan teknis dengan realitas pasar, sehingga tidak mematikan kompetisi.
- Standar spesifikasi berbasis performance: gunakan spesifikasi berbasis kinerja (output) ketimbang merinci merk/model sehingga lebih banyak supplier dapat bersaing.
- Transparansi harga referensi: publikasi HPS, perbandingan harga pasar, dan pembentukan database harga referensi (benchmark) memudahkan monitor harga wajar.
- Mekanisme pengawasan dinamis: analitik procurement untuk mendeteksi anomali harga, audit forensik bila perlu, serta penguatan whistleblowing disertai proteksi pelapor.
- Capacity building bagi tim pengadaan: teknik HPS realistis, evaluasi risiko, manajemen kontrak, dan negotiation skills membuat panitia lebih efektif merebut value for money.
- Skema insentif untuk vendor lokal: memberikan preferensi skala kecil pada UMKM yang patuh kualitas mendorong persaingan sekaligus pengembangan industri lokal.
Implementasi kombinasi langkah-langkah ini menuntut komitmen manajemen, koordinasi antar-institusi, dan investasi awal-mis. pengembangan platform e-procurement atau pelatihan intensif. Namun manfaat jangka menengah dan panjangnya signifikan: penghematan anggaran, peningkatan kualitas layanan publik, dan tingginya kepercayaan masyarakat.
Kesimpulan
Fenomena “harga barang di pemerintah lebih mahal” bukanlah hasil dari satu penyebab tunggal, melainkan gabungan faktor regulasi, spesifikasi teknis, biaya transaksi dan logistik, keterbatasan pasar, premi risiko, serta kondisi tata kelola dan kompetisi. Sementara beberapa komponen kenaikan harga-seperti jaminan purna jual dan life-cycle cost-merupakan investasi rasional untuk memastikan layanan publik yang andal, bagian lain berasal dari inefisiensi atau praktik yang memperkaya pihak tertentu secara tidak wajar.
Pendekatan solusi bersifat multi-dimensi: memangkas biaya kepatuhan lewat digitalisasi dan penyederhanaan yang tetap mempertahankan kontrol, merancang spesifikasi berbasis kinerja, mengkonsolidasikan pembelian, memperkuat kompetisi dan pengawasan pasar, serta membangun kapasitas tim pengadaan. Transparansi dan tata kelola yang kuat menjadi fondasi untuk menekan markup dan kebocoran, sementara strategi supply-side seperti pengembangan pemasok lokal dan skema pembelian jangka panjang membantu menurunkan harga struktural.
Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, pemerintah bisa mencapai keseimbangan antara nilai (value for money), kualitas layanan, dan akuntabilitas publik. Komunikasi yang jelas tentang alasan pemilihan opsi tertentu juga penting agar publik memahami komponen biaya yang wajar dan yang perlu diperbaiki. Akhirnya, perbaikan berkelanjutan dalam pengadaan publik adalah upaya kolektif-melibatkan pembuat kebijakan, pengelola anggaran, penyedia, dan masyarakat-untuk memastikan setiap rupiah publik dipakai seefisien dan seefektif mungkin.