8 Kesalahan Umum ASN Saat Menulis Surat Resmi

Pendahuluan

Menulis surat resmi adalah aktivitas rutin bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Surat resmi bukan sekadar teks yang diketik, melainkan alat komunikasi formal yang mewakili institusi – ia menyampaikan instruksi, permintaan, keputusan, atau informasi yang harus tercatat dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena fungsinya penting, kesalahan kecil saja bisa menimbulkan kebingungan, keterlambatan disposisi, atau bahkan masalah administratif yang lebih besar. Itu sebabnya keterampilan menulis surat dinas yang baik menjadi hal yang harus dimiliki setiap ASN.

Namun kenyataannya, banyak ASN masih melakukan kesalahan yang sama berulang kali saat menyusun surat. Kesalahan ini bukan selalu karena kurangnya niat baik; seringkali karena kebiasaan, keterbatasan waktu, kurangnya pedoman yang mudah diikuti, atau karena tidak menyadari konsekuensi praktisnya. Surat yang dianggap cuma “formalitas” cenderung dibuat terburu-buru sehingga unsur-unsur penting terlewat: perihal yang kabur, lampiran tidak lengkap, bahasa berbelit, atau tidak ada kontak untuk tindak lanjut. Akibatnya, kebutuhan yang seharusnya selesai cepat malah berlarut-larut.

Artikel ini menjabarkan delapan kesalahan umum ASN saat menulis surat resmi, disertai penjelasan mengapa itu masalah, contoh situasi nyata yang sering terjadi, dan tips praktis untuk memperbaikinya. Setiap bagian dibuat dengan bahasa sehari-hari dan mudah dipahami, sehingga bisa langsung dipraktikkan di kantor tanpa perlu jargon teknis. Tujuannya bukan menghakimi, melainkan memberi panduan agar proses administrasi menjadi lebih cepat, rapi, dan profesional.

Baca setiap bagian dengan cermat dan catat poin yang relevan dengan pekerjaan Anda. Jika Anda bagian tata usaha, kepala unit, atau pimpinan, pertimbangkan membuat aturan singkat (checklist) berdasarkan poin-poin ini untuk dibagikan ke seluruh tim. Perbaikan kecil yang konsisten seringkali memberi dampak besar: menghemat waktu, mengurangi kebingungan, dan membangun citra organisasi yang lebih profesional. Mari kita mulai membahas kesalahan pertama yang paling sering terjadi: tujuan dan perihal surat yang tidak jelas.

Kesalahan 1 – Perihal atau Tujuan Surat Tidak Jelas

Salah satu kesalahan paling mendasar namun sering terjadi adalah menulis perihal atau tujuan surat yang tidak jelas. Perihal adalah salah satu bagian paling penting karena pembaca biasanya melihatnya terlebih dahulu untuk memahami inti surat. Bila perihal samar, penerima harus membaca seluruh isi terlebih dahulu hanya untuk mencari tahu maksud surat – ini membuang waktu dan berpotensi menunda respons.

Masalah ini muncul dalam berbagai bentuk: perihal yang terlalu panjang namun tetap kabur, perihal yang hanya berisi kata-kata umum seperti “permohonan” tanpa menyebut jenis permohonan, atau perihal yang tidak sejalan dengan isi surat. Contoh nyata: seorang staf menulis perihal “Permohonan” padahal surat tersebut adalah permohonan cuti beban tugas selama 3 hari. Perihal tersebut seharusnya ditulis lebih spesifik, misalnya “Permohonan Cuti Tahunan 1-3 September 2025 – Budi Santoso”. Dengan perihal jelas, bagian tata usaha atau kepala bisa langsung mengerti konteks dan menaruh surat di prioritas yang tepat.

Mengapa perihal yang tidak jelas merugikan? Pertama, memperlambat proses karena penerima mesti membuka seluruh surat untuk mencari maksudnya. Kedua, bila surat masuk ke unit lain, perihal kabur berisiko salah disposisi – surat mungkin dikirim ke orang yang tidak berwenang sehingga harus diteruskan lagi. Ketiga, dalam arsip, perihal yang generik sulit dicari ketika diperlukan rujukan nanti.

Perbaikan praktisnya sederhana: tulis perihal singkat, spesifik, dan informatif. Gunakan kata-kata kunci yang menjelaskan tindakan atau keputusan yang diharapkan serta waktu bila relevan. Format singkat yang efektif: [Jenis Permintaan] – [Objek/Topik] – [Periode/Tanggal] – [Nama jika perlu]. Contoh: “Permohonan Cuti Tahunan – 1-3 Sep 2025 – Rudi Hartono”. Di samping itu, pastikan isi surat selaras dengan perihal; jika terjadi perubahan, perbarui perihal sebelum dikirim.

Melatih kebiasaan menulis perihal dengan tepat bisa dimulai dari aturan sederhana di unit kerja: semua surat keluar harus memiliki perihal yang jelas dan tidak lebih dari satu baris. Dengan kebiasaan ini, alur komunikasi menjadi lebih cepat dan rapi.

Kesalahan 2 – Bahasa Berbelit, Resmi Berlebihan, atau Terlalu Teknis

Kesalahan umum lainnya adalah penggunaan bahasa yang tidak tepat: ada yang menulis terlalu kaku dan berbelit sehingga sulit dipahami, sementara yang lain memakai istilah teknis yang tidak semua pembaca mengerti. Surat resmi memang harus formal, tetapi formal tidak berarti bertele-tele. Bahasa yang berputar-putar malah menyembunyikan maksud dan membuat pembaca mesti menebak maksud penulis.

Contoh bahasa berbelit: “Sehubungan dengan hal-hal yang telah kami realisasikan pada agenda yang lalu, dengan ini kami menyampaikan permohonan perihal hal-hal teknis yang harus mendapatkan perhatian Bapak/Ibu.” Kalimat seperti ini panjang, berulang, dan tak jelas inti permintaan. Pembaca akan kehilangan fokus. Alih-alih begitu, lebih baik kalimat langsung ke inti: “Kami mengajukan permohonan persetujuan penambahan anggaran Rp X untuk kegiatan Y sesuai laporan terlampir.”

Di sisi lain ada juga penggunaan istilah teknis atau jargon internal yang tidak semua orang paham. Misalnya menuliskan “sesuai SOP v3.2” tanpa penjelasan bila surat ditujukan ke pihak luar atau unit lain yang tidak pakai singkatan yang sama. Atau memakai singkatan instansi tanpa membuka singkatan pada pertama kali disebutkan. Akibatnya, penerima bingung dan mungkin harus menanyakan kembali.

Bagaimana memilih bahasa yang tepat? Pertama, utamakan kejelasan: tulis kalimat pendek, struktur logis (pembuka – maksud – rincian – penutup), dan gunakan kata-kata umum. Kedua, hindari istilah yang tidak perlu; bila harus menggunakan istilah teknis, sertakan penjelasan singkat atau lampiran yang menjelaskan. Ketiga, gunakan nada sopan tetapi langsung: hormat tetapi tidak berputar-putar. Keempat, baca ulang surat dengan sudut pandang penerima: apakah Anda akan mengerti dalam sekali baca?

Latih tim dengan contoh-contoh sebelum menerapkan: adakan sesi singkat dimana staf menyederhanakan kalimat panjang menjadi kalimat singkat yang tetap sopan. Hasilnya, surat menjadi lebih efisien dan kemungkinan kesalahpahaman menurun tajam.

Kesalahan 3 – Struktur Surat Tidak Lengkap atau Tidak Rapi

Surat resmi memiliki struktur standar yang memudahkan pembacaan dan pengarsipan: kop/lembaga, nomor surat, tanggal, perihal, alamat tujuan, pembuka, isi, penutup, tanda tangan, dan lampiran bila ada. Sayangnya, banyak surat yang dikirim tidak mematuhi struktur ini sepenuhnya – ada yang lupa nomor surat, tanggal, atau tidak mencantumkan lampiran secara jelas. Kekurangan ini membuat surat sulit ditindaklanjuti dan menyulitkan proses administrasi.

Contoh nyata: surat yang dikirim tanpa nomor dan tanggal seringkali dipertanyakan keasliannya atau diproses lambat karena bagian kepegawaian atau arsip harus menunggu verifikasi tambahan. Surat tanpa alamat tujuan yang lengkap (nama jabatan atau unit) berisiko salah masuk ke pihak yang bukan penerima semestinya. Atau surat yang menyebut lampiran tapi lampiran tidak dilampirkan – ini memicu bolak-balik komunikasi yang memakan waktu.

Untuk menghindari masalah ini, buatlah checklist sederhana yang harus dipenuhi sebelum surat dikirim: 1) Kop/lembaga benar; 2) Nomor surat sesuai format unit; 3) Tanggal penulisan; 4) Perihal singkat; 5) Alamat tujuan lengkap (nama instansi/jabatan); 6) Isi terstruktur; 7) Penutup dan tanda tangan yang jelas; 8) Lampiran terdaftar dan disusun berurutan. Checklist ini bisa dipasang di meja kerja atau dijadikan bagian dari template surat elektronik.

Selain itu, latih penggunaan template standar di program pengolah kata sehingga elemen-elemen penting sudah ada otomatis. Template meminimalkan kesalahan seperti lupa tanggal atau format nomor. Untuk lampiran, jangan cukup menuliskan “terlampir”, tetapi sertakan daftar lampiran di akhir surat dan pastikan file terlampir telah dicek. Dengan struktur yang lengkap dan rapi, surat menjadi dokumen yang profesional dan memudahkan tindak lanjut.

Kesalahan 4 – Lampiran Tidak Lengkap, Tidak Terurut, atau Tidak Dinamai Jelas

Lampiran adalah bukti pendukung yang sering menjadi penentu apakah suatu permohonan disetujui atau tidak. Meski penting, tata kelola lampiran sering diabaikan: file tidak lengkap, urutan berantakan, atau nama file tidak informatif sehingga penerima harus membuka satu per satu untuk mengecek isinya. Kesalahan ini menyebabkan proses verifikasi lambat dan berujung pada pengembalian dokumen.

Ada beberapa pola kesalahan umum. Pertama, melupakan lampiran yang disebut dalam teks; surat menyebut ada LAMPIRAN A namun pengirim lupa menempelkan atau mengunggah file. Kedua, lampiran berantakan-misalnya file foto diletakkan di tengah tanpa penjelasan, atau dokumen administratif seperti fotokopi identitas tidak diberi nomor urut. Ketiga, penamaan file yang generik seperti “Final.docx” atau “Scan1.pdf” sehingga penerima kesulitan memilih yang mana untuk rujukan.

Cara memperbaikinya konkret dan praktis. Sebelum mengirim, buat daftar isi lampiran di akhir surat: nomor lampiran, judul singkat, dan format file jika digital. Contoh: “Lampiran: 1. Rincian Anggaran (Lampiran1_RAB.pdf); 2. Notulen Rapat (Lampiran2_Notulen.pdf); 3. Foto Lokasi (Lampiran3_Foto1.jpg).” Dengan nama file yang informatif, penerima langsung tahu isi tanpa membuka semuanya. Selain itu, susun lampiran sesuai logika-ringkasan atau dokumen utama diawal, lalu lampiran pendukung seperti bukti administratif dan foto di akhir.

Untuk dokumen fisik, gunakan penjepit atau map dengan pembatas (dividers) berlabel. Untuk lampiran digital, pertimbangkan menggabungkan semua lampiran ke dalam satu PDF terstruktur berdasarkan urutan yang sama; ini memudahkan pembacaan di perangkat. Terakhir, selalu lakukan double-check: baca isi surat, cek daftar lampiran, buka file lampiran yang dimaksud untuk memastikan tidak ada yang salah link atau file rusak. Kebiasaan sederhana ini akan menghemat waktu semua pihak.

Kesalahan 5 – Kesalahan Tata Bahasa, Ejaan, dan Angka

Walau tampak sepele, kesalahan tata bahasa, ejaan, dan angka dapat menurunkan kredibilitas surat dan menimbulkan kebingungan serius. Misalnya, salah mengetik angka nominal anggaran (Rp 10.000.000 menjadi Rp 100.000.000) bisa berdampak besar pada proses anggaran. Salah eja nama instansi atau nama pejabat dapat membuat surat kehilangan formalitas atau bahkan dianggap tidak resmi oleh penerima.

Beberapa jenis kesalahan yang sering muncul: typo pada nama orang atau unit, penulisan tanggal yang ambigu (misalnya 05/06/2025 – apakah Mei atau Juni?), ketidakkonsistenan penulisan angka (sebagian memakai titik sebagai ribuan, sebagian lagi koma), dan penggunaan tanda baca yang salah sehingga mengubah makna kalimat. Selain itu, penggunaan huruf kapital yang tak tepat (misalnya menulis NIP tanpa menambahkan label NIP: ) juga mengganggu kejelasan informasi.

Solusi praktis adalah menerapkan beberapa kebiasaan kerja: 1) selalu baca ulang surat sebelum dikirim, lebih baik baca keras-keras atau minta rekan memeriksa; 2) gunakan fitur pemeriksa ejaan di program pengolah kata, namun jangan sepenuhnya bergantung karena beberapa istilah khusus tidak dikenali; 3) buat format baku untuk penulisan angka dan tanggal di unit kerja, misalnya selalu tulis tanggal lengkap “15 Agustus 2025” untuk menghindari ambiguitas; 4) untuk angka penting seperti nominal, tulis angka dan juga terbilang di bawahnya (contoh: Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)) untuk mengurangi risiko salah baca.

Selain itu, siapkan daftar nama pejabat dan istilah internal yang sering dipakai agar bisa dipakai berulang dengan penulisan konsisten. Untuk dokumen yang sensitif, minta tanda tangan atau persetujuan dari setidaknya satu rekan sebelum dikirim. Kerapian bahasa dan ketepatan angka bukan sekadar soal estetika-itu soal akurasi dan tanggung jawab administratif.

Kesalahan 6 – Tidak Mencantumkan Kontak atau Instruksi Tindak Lanjut yang Jelas

Sebuah surat resmi seringkali membutuhkan tindak lanjut: konfirmasi, jawaban, atau pelaksanaan suatu tugas. Namun banyak surat yang menutup tanpa memberi petunjuk jelas siapa yang harus dihubungi, apa langkah selanjutnya, atau batas waktu yang diharapkan. Akibatnya, penerima bingung apakah perlu merespon segera, kepada siapa, atau dokumen harus ditindaklanjuti kapan.

Kesalahan umum meliputi tidak menyertakan nomor telepon atau email kontak penanggung jawab; tidak menyebutkan siapa yang harus menandatangani balik; atau tidak memberikan tenggat waktu. Contoh: surat permintaan data “Mohon kiranya data dikirim secepatnya” – “secepatnya” subjektif; lebih baik tulis “Mohon data dikirim paling lambat 7 hari kerja sejak surat diterima ke email [email protected] atau telepon 0812xxxx”. Dengan instruksi seperti itu, penerima tahu ekspektasi waktu dan media pengiriman.

Selain itu, penting menentukan siapa penanggung jawab di pihak pengirim jika dokumen memerlukan klarifikasi. Cantumkan nama lengkap, jabatan, nomor telepon, dan email di bagian penutup. Jika ada lebih dari satu kontak (misalnya teknis dan administrasi), sebutkan keduanya dengan jelas: “Untuk pertanyaan teknis hubungi Bapak A (0812…), untuk pertanyaan administrasi hubungi Ibu B (0821…).”

Tulis pula instruksi tindak lanjut yang konkret: apakah penerima cukup memberi konfirmasi, menandatangani lampiran, mengembalikan formulir, atau melakukan tindakan lapangan. Jika surat memerlukan jawaban tertulis, sebutkan format jawaban yang diharapkan dan kurun waktu. Kebiasaan ini mengurangi bolak-balik komunikasi dan mempercepat penyelesaian tugas.

Terakhir, apabila surat dilampiri file digital, beri petunjuk jelas tentang cara membuka atau mengirim kembali, misalnya instruksi untuk mengunggah ke folder bersama atau mengirim melalui email resmi. Komunikasi yang lengkap dan jelas membuat implementasi kebijakan lebih lancar.

Kesalahan 7 – Tidak Menyimpan Salinan/Arsip dan Tidak Mencatat Nomor Surat

Dokumen resmi adalah bagian dari jejak administrasi yang penting. Namun banyak ASN yang tidak menyimpan salinan surat keluar atau tidak mencatat nomor surat dan tanggal dengan rapi. Akibatnya, ketika perlu melakukan penelusuran-misalnya untuk audit, tanggapan klaim, atau rujukan di masa mendatang-dokumen sering sulit ditemukan. Ketidakteraturan ini meningkatkan risiko kehilangan bukti dan menambah beban kerja saat harus merekonstruksi kronologi.

Kebiasaan buruk lain adalah tidak mengarsipkan balasan dari penerima atau bukti pengiriman (resit kurir, screenshot email terkirim). Padahal bukti-bukti tersebut sering diperlukan saat menunjukkan bahwa dokumen memang sudah dikirim dan diterima. Misalnya pada pengajuan anggaran, bukti penerimaan dokumen oleh pihak terkait penting untuk proses audit.

Untuk memperbaiki, terapkan prosedur arsip sederhana: setiap surat keluar diberi nomor dan dicatat di buku atau sistem register digital (misalnya spreadsheet bersama) yang memuat tanggal, nomor surat, penerima, perihal, dan lokasi arsip (folder digital atau map fisik). Simpan salinan digital surat final (PDF) di folder terpusat yang diberi struktur jelas (tahun → unit → jenis dokumen). Untuk dokumen penting, simpan juga bukti pengiriman: email terkirim, resi kurir, atau tanda terima fisik.

Gunakan format penamaan file konsisten agar mudah dicari, misalnya “2025-08-15_SK001_PermohonanCuti_Rudi.pdf”. Latih staf untuk selalu mengunggah salinan ke folder arsip setelah surat dikirim dan meng-update register. Kebiasaan sederhana ini mencegah kehilangan data, memudahkan audit, dan memudahkan tindak lanjut jika ada pertanyaan di kemudian hari.

Kesalahan 8 – Mengabaikan Prosedur Persetujuan dan Tanda Tangan (Formalitas)

Tanda tangan dan proses persetujuan adalah bukti formal bahwa surat disetujui oleh pihak yang berwenang. Namun sering terjadi surat dikirim tanpa persetujuan resmi, atau tanda tangan dipalsukan, atau prosedur persetujuan dipelintir untuk mempercepat proses. Selain berisiko menciderai akuntabilitas, hal ini juga dapat menimbulkan masalah hukum atau pemeriksaan internal.

Beberapa bentuk kesalahan meliputi: mengirim surat sebelum tanda tangan pimpinan diperoleh, menggunakan gambar tanda tangan yang mudah disalahgunakan tanpa catatan persetujuan, atau melompati prosedur verifikasi teknis yang seharusnya. Ada juga kasus di mana tanda tangan basah dipindai dan dibubuhkan pada dokumen digital tanpa prosedur pendukung seperti email konfirmasi dari yang menandatangani.

Untuk memperbaiki, tentukan dan sosialisasikan daftar siapa berwenang menandatangani jenis surat tertentu; jadikan itu pedoman baku. Jika menggunakan tanda tangan digital, pastikan mekanisme verifikasinya jelas dan hanya dipakai oleh yang berwenang. Bila tanda tangan basah masih diperlukan, usahakan rantai persetujuan tercatat: siapa menyusun, siapa memeriksa, siapa menandatangani. Simpan bukti persetujuan, misalnya foto dokumen bertanda tangan, email konfirmasi, atau log dalam sistem manajemen dokumen.

Selain itu, hindari praktek “memaksa” tanda tangan saat pejabat berhalangan. Jika perlu tanda tangan cepat, gunakan surat kuasa resmi atau mekanisme delegasi sesuai aturan. Prosedur formal memang kadang terasa lambat, tetapi tujuannya melindungi institusi dan memastikan setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan menerapkan aturan persetujuan yang disiplin dan mekanisme tanda tangan yang aman, organisasi dapat menjaga integritas dokumen dan mengurangi risiko masalah administratif maupun hukum.

Kesimpulan

Menulis surat resmi tampak sederhana, namun kesalahan kecil bisa berakibat panjang: keterlambatan, miskomunikasi, kurangnya bukti administrasi, hingga potensi masalah hukum. Delapan kesalahan yang dibahas – perihal tidak jelas; bahasa berbelit atau terlalu teknis; struktur surat tidak rapi; lampiran tak lengkap; kesalahan tata bahasa dan angka; tidak mencantumkan kontak atau instruksi tindak lanjut; tidak menyimpan salinan atau nomor surat; serta mengabaikan prosedur persetujuan dan tanda tangan – adalah hal-hal yang sering kita jumpai di lingkungan kerja pemerintahan.

Perbaikan tidak memerlukan pelatihan panjang atau alat mahal. Dimulai dari kebiasaan sederhana: gunakan template surat standar, pakai checklist sebelum kirim, tulis perihal yang jelas, berbahasa sederhana tapi sopan, berikan daftar lampiran dengan nama file yang informatif, cek ulang angka dan ejaan, sertakan kontak penanggung jawab, simpan salinan di folder terpusat, dan patuhi prosedur tanda tangan. Langkah-langkah kecil ini, bila menjadi kebiasaan, akan meningkatkan efisiensi kerja, memudahkan audit, dan membangun citra profesional organisasi.

Sebagai rekomendasi praktis: buat satu lembar panduan ringkas (1 halaman) berisi checklist sebelum mengirim surat, dan sebarkan ke seluruh staf. Lakukan sesi 30 menit untuk membahas contoh kesalahan nyata dan perbaikan sederhana. Tunjuk satu “champion administrasi” di setiap unit yang bertugas membantu rekan-rekannya. Perbaikan berkelanjutan inilah yang menjadikan tata naskah kantor lebih rapi, cepat, dan mudah dipertanggungjawabkan – manfaat yang akan dirasakan semua pihak, dari staf admin sampai pimpinan dan publik.

Loading